Renungan Minggu Prapaskah IV – Tahun C – 14 Maret 2010
Yos 5,9a.10-12; 2 Kor 5,17-21; Luk 15,1-3.11-31
Oleh: Rm. Victor Bani, SVD
Dalam salah satu bukunya, Antony de Mello berceritera bahwa suatu ketika Tuhan mengadakan inspeksi mendadak ke surga. Tuhan ingin melihat secara dekat keadaan di sana. Sesudah melihat ke sana kemari dan setelah berbincang-bincang dengan para penghuni dan salah satu penjaganya, Tuhan mendapat kesan bahwa penghuni surga sudah terlalu banyak. „Pasti ada salah urus, pasti ada yang tidak beres“, pikir Tuhan.
Lalu Tuhan memerintahkan semua penduduk surga tanpa kecuali untuk dikumpulkan dan menyuruh malaikat Gabriel untuk membacakan hukum Allah yang pertama. Sesudah hukum pertama dibaca, Tuhan Allah berkata: „Siapa yang melaksanakan hukum-Ku yang pertama ini, silahkan angkat tangan!“ Hampir semua penduduk surga mengangkat tangan. Hanya beberapa orang yang tidak mengangkat tangan. Tuhan berkata: „Siapa yang tidak mentaati hukum-Ku ini, segera turun ke nereka“. Malu-malu dan putus asa mereka memisahkan diri, lalu turun ke api neraka.
Selanjutnya Malaikat Gabriel diminta membacakan hukum yang kedua! Ternyata masih banyak yang mengangkat tangan. Tetapi toh, selalu ada segelintir orang yang tidak mentaatinya dan harus turun ke api neraka. Demikianlah hukum Allah demi hukum Allah dibaca, dan selalu ada orang yang sungguh mentaatinya, tetapi selalu ada pula orang yang tidak mentaatinya.
Ketika Malaikat membacakan hukum yang ke enam, tinggal sepertiga dari penduduk surga yang mengangkat tangan. Yang lainnya terpaksa harus turun ke api neraka. Waktu Malaikat Gabriel membacakan hukum Allah yang kesepuluh, tinggal hanya seorang biarawan yang gemuk, tua dan botak yang mengangkat tangan. Semua yang lain telah turun ke api neraka.
Biarawan tua itu sangat bangga karena dialah satu-satunya manusia yang masih mentaati semua perintah Allah dengan baik. Dia merasa bahwa sudah selayaknya dia tinggal di surga dan merasa sangat puas dengan hal itu.
Tetapi rupanya Tuhan yang merasa tidak puas. Dia merasa bahwa surga sudah menjadi terlalu sepi. Apalagi isinya cuma seorang biarawan yang sudah tua, gemuk, botak dan jelek lagi. „Lengkaplah sudah penderitaan surga, dan penjaga-penjaganya“, demikian pikir Tuhan. Karena itu Allah menyuruh malaikat Gabriel untuk memberikan ‚discount dosa‘ dan memanggil semua orang yang telah turun ke nereka itu untuk kembali ke surga.
Mendengar keputusan Tuhan itu, tentu saja si biarawan marah-marah. Ia tidak puas, memberontak dan sambil menunjuk-nunjuk ke arah Tuhan ia berteriak: “Ini tidak adil, ini tidak adil!! Mengapa dari dulu Tuhan tidak mengatakan hal ini kepadaku?”
Ternyata ada sesuatu yang tidak beres dengan si biarawan tua itu. Sepintas terkesan bahwa dia adalah orang yang taat beragama, seorang yang saleh, sehingga memang layak untuk diselamatkan. Namun dibalik itu, sebenarnya dia menghayati suatu keyakinan hidup yang keliru. Ia melihat bahwa hubungannya dengan Tuhan adalah sebatas menjalankan hukum Tuhan. Dia mengira dengan mentaati ke sepuluh perintah Allah, ia telah menjadi sempurna dan layak memperoleh keselamatan.
Biarawan tua itu terlalu mengandalkan perbuatannya, jasanya. Dia mengira, dia dapat membeli keselamatan hanya dengan mentaati hukum Tuhan 100%. Ia mau berdagang dengan Tuhan. Ia mentaati semua perintah Tuhan dan Tuhan harus membalas jasanya dengan memberikan keselamatan kepadanya.
Apa yang dilakukan oleh si biarawan dalam ceritera di atas, kurang lebih sama dengan sikap yang dimiliki oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang selalu merasa, diri merekalah yang paling benar dihadapan Tuhan. Mereka begitu jengkel dan tidak terima karena Yesus terlalu dekat dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. „Katanya Mesias, kok bergaulnya dengan orang-orang berdosa. Bahkan makan bersama dengan mereka. Sangat memalukan dan tidak masuk akal“. Akan tetapi Yesus mana peduli dengan apa yang mereka pikirkan dan katakan. Dia bebas bergaul dengan siapa saja yang dia inginkan.
Untuk ‘membalas’ tindakan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang terus saja mencelanya, Yesus lantas menceriterakan suatu perumpamaan, yang menurut para ahli, merupakan salah satu perumpamaan yang paling indah dalam Kitab Suci: Perumpamaan tentang “Kembalinya Si Anak Yang Hilang”.
Singkatnya, perumpamaan itu mengisahkan seorang anak yang setelah mendapatkan harta warisannya, pergi meninggalkan bapa dan kakaknya ke negeri yang jauh dan menghabiskan seluruh hartanya dengan hidup berfoya-foya. Setelah kekayaannya habis, datanglah bencana yang membuat hidupnya merana. Jangankan mendapat sepiring nasi, untuk mendapatkan ampas yang menjadi makanan babipun susahnya bukan main. Sungguh tragis nasibnya.
Tapi untunglah di saat-saat seperti itu, dia sadar akan kesalahannya, menyesali segala tindakannya dan memutuskan untuk kembali kepada bapanya, tanpa banyak berharap, bahwa ia akan diterima kembali sebagai seorang anak. Tetapi rupanya dia keliru. Bapanya bahkan datang berlari menjemputnya, ketika melihatnya pulang, merangkul dan mencium dia dan dengan segera membuat pesta yang sangat besar dan meriah untuk menyambut kepulangannya.
Suatu tindakan sang bapa yang sangat salah di mana si anak sulung. Tindakan yang salah, bukan saja karena sang bapa rela menerima kembali adiknya yang telah pergi meninggalkan mereka, tetapi juga karena pesta besar yang dirayakan untuk menyambut kepulangannya.
Ada banyak pesan yang bisa kita petik dari perumpamaan tentang anak yang hilang ini. Bagi saya pribadi, Perumpamaan ini mengungkapkan belas kasih Allah yang tidak terhingga kepada kita manusia. Perumpamaan tentang si anak hilang adalah kisah mengenai Allah yang keluar dari rumah-Nya untuk mencari setiap manusia yang berdosa dan Ia tidak akan tinggal diam sebelum Dia menemukan kita.
Sebagai Bapa, Ia menginginkan anak-anak-Nya bebas, bebas untuk mencintai. Termasuk kebebasan untuk pergi meninggalkan rumah-Nya, menuju ke negeri yang jauh dan kehilangan segala sesuatu. Hati Sang Bapa mengetahui segala penderitaan akibat pilihan itu, tetapi cinta-Nya membuat Dia tidak berdaya untuk menghindarkannya.
Sebagai bapa, Ia menghendaki agar mereka yang berada di rumah-Nya menikmati kehadiran-Nya dan mengalami kasih-Nya. Tetapi sekali lagi, Ia hanya menawarkan kasih yang dapat dengan bebas diterima. Itulah kelebihan sekaligus ‘kelemahan Allah’. Dia menawarkan kasih-Nya, kita bebas menentukan: Apakah menerima ataukah menolak tawaran kasihnya. Dia memang menderita ketika anak-anak-Nya menghargai Dia hanya dengan bibirnya saja, sementara hati mereka jauh dari-Nya. Akan tetapi Dia tidak mau atau tidak ‘mampu’ untuk memaksa mereka mencintai-Nya. Semua itu adalah keputusan bebas anak-anak-Nya.
Sebagai Bapa, satu-satunya kuasa yang dimilikinya, satu-satunya kuasa yang dituntut darinya, adalah kuasa untuk berbelas kasih. Keserakahan, kemarahan, iri hati, kecemburuan dan dendam dan begitu banyak dosa lainnya yang kita lakukan menyebabkan kesedihan yang luar biasa di dalam hati-Nya. Meskipun begitu Dia tidak menginginkan kita binasa. Malah sebaliknya Dia menginginkan kita tetap hidup. Karena itu, Dia akan selalu terus mencari kita, sampai menemukan kita dan membawa kita kembali untuk berkumpul bersama-sama dengan Dia.
Comments
Post a Comment