Memang tidak begitu istimewa bila diukur timbangannya yang cuma tujuh gram. Tapi bila orang tahu bagaimana susahnya menabung sebanyak itu bagi pegawai kecil seperti Amin, kalung emas seberat itu sangat istimewa. Sudah lima tahun sejak melamar gadis yang pintar mengaji itu, Amin ingin memberinya hadiah seistimewa kalung itu. Selama itu juga dia menabung dengan mengirit makannya, berhenti merokok, mengumpulkan tips dari majikannya, dan mencari tambahan dengan membantu mencuci piring di warung tegal.
Dan Nia menerimanya begitu suka cita. Berkali-kali dia mencubit tangannya, seolah ingin meyakini bahwa itu bukan mimpi. Wajahnya begitu berseri. Tubuhnya berputar saat bercermin di kaca lemari. Amin bahagia melihatnya.
“Tapi, darimana Akang punya rejeki sebanyak ini?”
“Menabung, sejak lima tahun lalu, sejak kita menikah dulu.”
“Hah?”
Mulut Nia melongo. Tidak terbayangkan olehnya, bagaimana suaminya menabung. Karena semua gaji yang tertera di struknya diterimanya setiap bulan. Kalaupun dia memberikannya kembali, sekadar buat ongkos dan beberapa batang rokok setiap harinya.
* * *
Kalung emas yang hanya dipakai Nia bila pergi ke surau itu, memang istimewa. Tidak saja bagi suami istri itu, tapi juga bagi seluruh kampung Ninggul. Rumah-rumah di sini terdiri dari petak-petak panggung, berdinding bambu, beratap rumbia, berlantai tanah. Satu dua rumah yang termasuk bagus, seperti rumah Ketua Kampung, beratap genting. Tapi genting itu pun dibeli tidak baru, karena sudah menghitam dan ditumbuhi lumut di sana sini.
Keistimewaan di Ninggul sebenarnya sederhana bila dilihat dari kampung lain, apalagi kota kecamatan. Buat saja rumah dengan setengahnya ditembok, itu sudah istimewa. Rumah seperti itu tentu saja tidak seberapa berharga di kampung lain. Tapi di Ninggul, tidak saja istimewa, rumah setengah tembok adalah keajaiban. Siapa yang sanggup membeli semen, membayar buruh angkut, mendatangkan tukang tembok, dengan pertanian seperti ini?
Pertanian di Ninggul sudah istimewa bila sanggup memberi sarapan pagi dan dua kali makan sehari sampai kenyang. Karena hasil dari sawah yang hanya bisa digarap setahun sekali, palawija yang selalu kurang pupuk, tidak pernah memberi keistimewaan seperti itu.
Ninggul memang jauh dari mana-mana. Untuk belanja ke kota kecamatan, memerlukan seharian berjalan kaki. Tidak bisa memakai kendaraan, karena mesti melewati pinggir hutan bercadas, tebing-tebing jurang, dan hamparan ilalang.
Kekurangan makanan adalah hal biasa. Tidak saja saat paceklik tiba, saat matahari terus bersinar, tanaman mengering, persawahan belah-belah, tapi juga setelah panen dimana penghematan mesti dimulai. Anak-anak akan bermain sampai ke pinggir-pinggir hutan, mencari singkong liar yang umbinya tidak lebih dari ibu jari kaki. Atau masuk ke dalam hutan, mencari buah kupa yang rasanya asam.
Bagaimana tidak istimewa kalung emas seberat tujuh gram di kampung terisolir seperti itu? Tapi Amin sendiri memang warga Ninggul yang istimewa. Berbeda dengan penduduk lainnya yang buta huruf, Amin sempat belajar baca-tulis di sekolah. Sejak usia tujuh tahun dia dibawa oleh seorang pejabat kecamatan yang pernah berkunjung ke Ninggul saat wabah muntaber terjadi. Bapak dan dua orang saudara Amin termasuk korban yang meninggal. Dia dibawa ke kota kecamatan, membantu-bantu di rumah Pak Sekretaris Camat. Dia disekolahkan sampai tamat SD.
Di rumah Pak Sekmat, Amin belajar banyak. Mengurus taman, mencuci mobil, sampai membuat kopi, teh tubruk, dan menanak nasi. Kemudian dia menjadi pesuruh di kantor anak Pak Sekmat di kota kabupaten, mendapat gaji tiap bulan, dan mendapat satu kamar buat tidur. Bagaimana tidak istimewa pekerjaan seperti itu bagi kampung semiskin Ninggul?
Amin sebenarnya bisa meninggalkan kemiskinan Ninggul dalam hidupnya. Banyak wanita pinggiran kota yang akan mau dilamar oleh orang sebaik dan bekerja seperti Amin. Tapi Ninggul seperti yang punya magnet bagi anak-anaknya. Amin pulang ke Ninggul setelah punya tabungan cukup, menengok emaknya yang hidup sendiri, dan melamar Nia.
Nia adalah bunga yang mekar di tanah kering Ninggul. Dia anak satu-satunya Ketua Kampung. Tidak pernah sekolah, tapi sempat belajar ngaji dan baca tulis di pesantren kecamatan, kemudian mengajar anak-anak di surau satu-satunya di Ninggul. Bagaimana Nia akan mendapat pasangan bila Amin tidak datang? Karena Nia memang berbeda dengan gadis lainnya yang berkulit hurik, berambut merah terkena sinar matahari, dan bergigi jarang digosok.
Karenanya siapa pun orang Ninggul akan setuju, Amin dan Nia adalah pasangan istimewa. Bahkan berkah bagi Ninggul, meski suami-istri ini belum dikaruniai anak. Penduduk Ninggul selalu punya harapan besar ketika melihat anak-anaknya pergi mengaji, belajar baca tulis di surau kecil. Karenanya wajar dan membanggakan bila hadiah seistimewa kalung emas seberat tujuh gram itu diberikan Amin kepada Nia.
Tapi hadiah istimewa itu tidak dilihat Amin pada kepulangannya kali ini. Biasanya Nia akan terus memakainya pada hari-hari dimana Amin diperkirakan pulang. Tidakkah Nia lupa?
* * *
Seperti biasa, bila datang petang, Amin akan istirahat sebentar dan terbangun sorenya. Ketika bangun, istrinya baru selesai masak. Mereka pun makan. Nasi putih yang masih panas, dadar telor, sambal kemangi, kerupuk. Tentu itu makanan istimewa bagi Ninggul. Nia pun hanya memasaknya bila Amin pulang. Selama dua hari. Karena biasanya hanya selama itu Amin pulang.
Hari-hari biasanya, seperti juga penduduk lainnya, Nia hanya menanak nasi yang dibatasi jumlahnya, ulekan cabe garam dan lalapan yang ditemukan di seputar rumah. Kalaupun membakar ikan asin atau mendadar telor, mesti bertahan untuk beberapa hari.
Amin tahu makanan sehari-hari orang Ninggul. Tidak pernah dibiarkannya perut keroncongan dipenuhi semaunya. Tapi malamnya, ketika dia berkunjung ke rumah-rumah tetangga dan saudara, makanan yang biasa itu pun tidak ditemukan. Mereka menanak tiwul, gaplek, bahkan juga gadung. Anak-anak yang berdaging tipis, berkulit kering, tersenyum memperlihatkan gigi mereka yang kotor. Makanan seperti itu tidak menjadikan orang Ninggul keracunan, karena Ninggul memang sudah berpengalaman memasaknya.
Hanya di rumah Ketua Kampung, mertuanya, Amin masih mendapatkan nasi ditanak. Itu pun menjadi bubur, untuk makanan beberapa orang yang sakit. Wabah muntaber itu seperti mau datang lagi bila Ketua Kampung dan Nia yang masih hafal tanda-tandanya, tidak cepat bertindak. Mereka mengajak seluruh penduduk Ninggul yang sehat untuk mengambil air bersih di sumbernya yang cukup jauh. Jangan gunakan lagi air pancuran yang keruh untuk memasak apa pun. Sebagian lagi belanja ke kota, membeli beras dan obat-obatan, jaga-jaga bila bantuan dari kecamatan terlambat datang seperti tahun-tahun lalu.
Sampai pulang kembali ke rumah, Amin tidak bicara apa pun. Pertanyaan yang sudah di mulutnya pun tidak dikeluarkannya. Tidak ada lagi keinginan untuk mengetahui keberadaan kalung pemberiannya. Biarkan saja, itu sudah menjadi hak Nia, pikirnya. Sebagai anak Ninggul dia terlalu hafal meski hanya melihat isyarat sekelebat. Kekurangan makanan kali ini, rasanya berbeda dari musim-musim kering yang lalu.
Ketika mau tidur Amin bertanya lirih: “Separah itukah kekeringan musim ini?”
“Mungkin belum seberapa, karena ini baru awal musim kering. Semua orang tahu, kita mesti cepat bertindak bila tidak ingin ikut mengering seperti sawah-sawah itu. Kita tidak punya modal untuk mengalirkan air dari sumber yang jauh. Saya akan memulai pekerjaan itu bila wabah ini benar-benar sudah terhindari, bila penduduk sudah sehat benar. Dan itu semua, Kang, dibiayai dari penjualan kalung pemberianmu, yang sebagian telah dibelikan obat-obatan dan beras.”
Amin tidak bicara. Dia sudah memperkirakannya.
“Akang tidak marah?”
Amin menarik napas panjang.
“Bagi Nia, kalung itu adalah hadiah terindah yang pernah diterima, perhiasan terindah yang pernah dipunyai. Bila membelinya sendiri, Nia tidak mungkin mendapatkannya, sampai kapan pun. Bapak pun tidak mungkin membelikannya. Akang pasti kecewa, maafkan Nia, karena tidak bisa memberitahu Akang terlebih dahulu.”
Amin masih diam.
“Akang marah?”
Amin memeluk istrinya, erat sekali. Dan katanya, “Akang tidak marah. Kita orang Ninggul, yang tahu bagaimana kelaparan mesti dihadapi. Engkau hadiah terindah tidak saja bagi Akang, tapi juga bagi Ninggul.”
Di luar, suara jengkrik begitu jelas
Comments
Post a Comment