“SURYANI, mengapa masih di sini? Pulanglah. Jangan lupa kerjakan PR-mu. Atau, mau Ibu antar pulang sekalian?”
Suryani, gadis berusia tujuh tahun itu, gemetar. Ia tak menyangka akan ditegur Ibu Guru Nantri. Cepat-cepat ia menggeleng, “Tidak usah, Bu. Terimakasih. Saya pulang sendiri saja.”
“Pulanglah. Tak baik bermain di sini sendirian. Sekolah sudah sepi. Sebentar lagi Pak Jali akan mengunci pintu gerbang,” ujar Ibu Nantri lembut. “Baik, Bu,” jawab Suryani tanpa berani mengangkat wajahnya.
“Hati-hati, ya. Nah, Ibu duluan.” Ibu Guru Nantri yang manis itu segera berlalu dengan motor bebeknya. SURYANI berjalan pelan-pelan. Terik mentari yang menyengat siang itu bahkan tak kuasa menghelanya untuk bergegas. Langkah kakinya terasa berat. Perasaan galau berkecamuk dalam hatinya. Sungguh ia tak ingin pulang ke rumah saat ini. Namun langkahnya yang berat akhirnya mengantarnya jua kembali ke rumah.
Beberapa meter dari pagar rumahnya, langkah Suryani terhenti. Tubuhnya menegang. Sebuah sepeda motor bercat biru hitam terparkir di teras. Suryani meremas ujung rok seragamnya kuat-kuat. Gelisah hatinya makin menjadi. Ia ingin berlari menjauh saat itu juga, dan pergi ke suatu tempat. Tapi ia tak tahu harus ke mana. Ia ingin sekali pergi ke toko tempat ibunya bekerja, namun tempat itu jauh sekali dan Suryani sungguh tak berani pergi sendiri ke sana. Lagipula, ibunya pasti tak senang ia ke situ. Ibu telah berpesan padanya untuk belajar di rumah sepulang sekolah serta membantu Ayah mengurus Dede dan Didi, adik kembarnya yang baru berumur dua tahun.
Suryani juga tak bisa lupa cerita Ibu. Ibu bercerita bahwa sewaktu seusia Suryani ia takpernah mau membantu ibunya untuk menjaga adik-adiknya. Karena terlalu lelah bekerja ibunya sakit, lalu meninggal dunia tak lama kemudian. Suryani tak mau jika ibunya sakit dan meninggal karena lelah bekerja. Ibunya bekerja dari pagi hingga petang di toko, dan baru tiba di rumah kala hari sudah gelap. Ia sayang sekali pada Ibu. Hanya Ibu satu-satunya orang yang paling dekat dengan dirinya.
Dengan hati berdebar Suryani membuka pintu pagar. Suasana sepi menyergap saat ia masuk ke ruang depan. Tak terdengar suara adik-adiknya. Juga Ayah tidak kelihatan. Biasanya Ayah senang membaca koran atau nonton teve sambil tidur-tiduran di ruang tengah. Tanpa bersuara Suryani melangkah. Dari ruang tengah ia menlihat ayahnya dan kedua adiknya tertidur di kamar. Dengan agak tertahan gadis kecil itu menghela nafas lega. Ia berharap mereka tertidur pulas hingga petang nanti.
Cepat-cepat Suryani menukar seragam sekolahnya dengan kaos dan celana panjang. Setelah ini ia akan makan siang, lalu mengerjakan per-er.
“Aduuuh, rupanya si Anak Manis sudah pulang sekolah...” Lelaki muda yang dipanggil Ayah itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kamar Suryani. Matanya bersinar menatap gadis cilik berambut panjang itu. Dari kedua belah bibirnya samar-samar menyala seulas senyum.
TANGAN Suryani masih gemetaran tatkala mengambil pensil dari dalam tas sekolahnya. perutnya lapar karena belum makan siang. Sekujur tubuhnya terasa tak karuan, dan rasa sakit itu kembali menderanya. tapi bukan itu saja yang membuat hatinya terus menggigil. Ia tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak benar, dan harus dihentikan karena hal itu membuatnya tidak senang. Membuat dirinya sakit dan takut. Juga menjadikannya bingung; tak tahu harus berbuat apa.
Suryani berusaha keras mengatasi kegalauan hatinya. Ia sudah memutuskan untuk melakukannya. Hanya ini satu-satunya jalan yang menurutnya paling baik. Yang tidak akan menyakiti siapa-siapa, terutama ibunya tersayang.
Gadis kecil berparas manis itu mulai menulis. Pensil di tangannya bergetar.
Tuhan yang baik, tolonglah Ani. Kenapa Ayah jahat sekali pada Ani jika Ibu sedang tidak di rumah? Ayah membuat Ani sakit. Tapi Ani tidak boleh bilang pada Ibu. Ayah bilang, kalau sampai Ibu tahu maka Ibu akan mati. Ani tidak mau Ibu meninggal. Ani takut sekali. Kata Ayah, kalau sampai orang lain tahu, Ani akan dibuang ke dalam sumur di belakang rumah. Ani takut. Ibu Guru Nantri bilang, anak-anak harus patuh pada orang tua. Dan Tuhan sayang pada anak yang patuh pada orang tua. Tapi Ayah jahat. Kenapa Polisi tidak menangkap Ayah saja? Di televisi orang-orang jahat ditembak dan ditangkap Polisi. Tapi Ani takut Ibu sedih jika Ayah ditembak dan ditangkap Polisi. Tuhan yang baik, dulu Ani tak punya Ayah. Lalu Ibu membawa Ayah ke rumah. Tapi Ayah jahat pada Ani. Tuhan ambil saja Ayah yang ini, dan ganti dengan Ayah yang baru yang baik hati. Cepat ya, Tuhan. Ani takut sekali. Ani tidak mau sakit terus. Terimakasih.
Dari Suryani, kelas I B SD. Jalahari
SURAT itu kini sudah terlipat dalam amplop biru muda bergambar balon warna-warni di sisi depan bagian kiri. Sekarang tinggal menulis alamatnya. Suryani menulis: Untuk Tuhan di Surga. Surat siap dikirim. Tapi, berapa harga perangko ke Surga? Kata Ibu Syarifa Guru Agama, surga itu jauh sekali letaknya. Pasti amat mahal harga perangkonya. Suryani menghitung sisa uang jajan yang telah dikumpulkannya selama seminggu terakhir. Lima ribu rupiah. Tak mungkin ia minta uang pada Ibu untuk membeli perangko. Ibu pasti akan bertanya, dan bagaimana kalau nanti ketahuan? Lagipula berapa kode pos untuk Surga? Ia ingat perkataan Kak Mila, tetangganya yang punya hobi surat menyurat itu. Setiap surat yang dikirim haruslah diberi kode pos supaya sampai di tujuan dan tidak tersasar. begitu kata Kak Mila. Bagaimana ya mengirimnya? keluh Suryani dalam hati. Lama ia tercenung memandangi amplop biru muda di tangannya.
Setitik cahaya memancar di mata Suryani yang murung. Cepat-cepat dimasukkannya surat itu dan uang lima ribu rupiah miliknya ke dalam saku celana. Dengan mengendap-endap tanpa suara, Suryani menyelinap keluar lewat bagian samping rumah yang sempit, kotor dan jarang dilalui. Gadis cilik itu berhasil meluputkan diri dari sang ayah yang sedang asyik menonton filem India di ruang tengah. Sesampainya di luar rumah, Suryani yang kurus bergegas menyeret langkah kakinya. Ditahannya kuat-kuat rasa nyeri yang menusuk-nusuk itu. Surat ini harus segera dikirim, tekadnya.
SIANG itu orang-orang berkerumun di bawah tangga jembatan penyeberangan.
“Ada apa, Mas?” tang seseorang berjaket biru.
“Anak kecil jatuh, Bang. Terpeleset dari tangga jembatan.”
“Aduuuuh, kasihan. Anak siapa ya?” cetus seorang ibu setengah baya dengan wajah iba.
“Tangga jembatan penyeberangan kok dibiarkan tanpa pagar! Bikin orang celaka. Bagaimana ini pemerintah!” tukas yang lain dengan nada tinggi.
“Waaah, lha anak ini kan barusan beli balon gas dari saya,” sela seorang laki-laki tua berkaos lusuh yang mengenakan topi dari anyaman pandan.
“Waduh! Kok nggak bergerak? Jangan-jangan sudah ‘lewat’...”
“Cepat, bawa ke rumah sakit. Panggil taksi!”
Di atas jembatan sebuah balon gas berwarna merah membubung perlahan ke angkasa. Melayang pergi bersama angin, menjauhi kerumunan orang-orang di bawahnya. Di ujung benang pengikatnya secarik amplop biru muda terikat erat
Suryani, gadis berusia tujuh tahun itu, gemetar. Ia tak menyangka akan ditegur Ibu Guru Nantri. Cepat-cepat ia menggeleng, “Tidak usah, Bu. Terimakasih. Saya pulang sendiri saja.”
“Pulanglah. Tak baik bermain di sini sendirian. Sekolah sudah sepi. Sebentar lagi Pak Jali akan mengunci pintu gerbang,” ujar Ibu Nantri lembut. “Baik, Bu,” jawab Suryani tanpa berani mengangkat wajahnya.
“Hati-hati, ya. Nah, Ibu duluan.” Ibu Guru Nantri yang manis itu segera berlalu dengan motor bebeknya. SURYANI berjalan pelan-pelan. Terik mentari yang menyengat siang itu bahkan tak kuasa menghelanya untuk bergegas. Langkah kakinya terasa berat. Perasaan galau berkecamuk dalam hatinya. Sungguh ia tak ingin pulang ke rumah saat ini. Namun langkahnya yang berat akhirnya mengantarnya jua kembali ke rumah.
Beberapa meter dari pagar rumahnya, langkah Suryani terhenti. Tubuhnya menegang. Sebuah sepeda motor bercat biru hitam terparkir di teras. Suryani meremas ujung rok seragamnya kuat-kuat. Gelisah hatinya makin menjadi. Ia ingin berlari menjauh saat itu juga, dan pergi ke suatu tempat. Tapi ia tak tahu harus ke mana. Ia ingin sekali pergi ke toko tempat ibunya bekerja, namun tempat itu jauh sekali dan Suryani sungguh tak berani pergi sendiri ke sana. Lagipula, ibunya pasti tak senang ia ke situ. Ibu telah berpesan padanya untuk belajar di rumah sepulang sekolah serta membantu Ayah mengurus Dede dan Didi, adik kembarnya yang baru berumur dua tahun.
Suryani juga tak bisa lupa cerita Ibu. Ibu bercerita bahwa sewaktu seusia Suryani ia takpernah mau membantu ibunya untuk menjaga adik-adiknya. Karena terlalu lelah bekerja ibunya sakit, lalu meninggal dunia tak lama kemudian. Suryani tak mau jika ibunya sakit dan meninggal karena lelah bekerja. Ibunya bekerja dari pagi hingga petang di toko, dan baru tiba di rumah kala hari sudah gelap. Ia sayang sekali pada Ibu. Hanya Ibu satu-satunya orang yang paling dekat dengan dirinya.
Dengan hati berdebar Suryani membuka pintu pagar. Suasana sepi menyergap saat ia masuk ke ruang depan. Tak terdengar suara adik-adiknya. Juga Ayah tidak kelihatan. Biasanya Ayah senang membaca koran atau nonton teve sambil tidur-tiduran di ruang tengah. Tanpa bersuara Suryani melangkah. Dari ruang tengah ia menlihat ayahnya dan kedua adiknya tertidur di kamar. Dengan agak tertahan gadis kecil itu menghela nafas lega. Ia berharap mereka tertidur pulas hingga petang nanti.
Cepat-cepat Suryani menukar seragam sekolahnya dengan kaos dan celana panjang. Setelah ini ia akan makan siang, lalu mengerjakan per-er.
“Aduuuh, rupanya si Anak Manis sudah pulang sekolah...” Lelaki muda yang dipanggil Ayah itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kamar Suryani. Matanya bersinar menatap gadis cilik berambut panjang itu. Dari kedua belah bibirnya samar-samar menyala seulas senyum.
TANGAN Suryani masih gemetaran tatkala mengambil pensil dari dalam tas sekolahnya. perutnya lapar karena belum makan siang. Sekujur tubuhnya terasa tak karuan, dan rasa sakit itu kembali menderanya. tapi bukan itu saja yang membuat hatinya terus menggigil. Ia tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tidak benar, dan harus dihentikan karena hal itu membuatnya tidak senang. Membuat dirinya sakit dan takut. Juga menjadikannya bingung; tak tahu harus berbuat apa.
Suryani berusaha keras mengatasi kegalauan hatinya. Ia sudah memutuskan untuk melakukannya. Hanya ini satu-satunya jalan yang menurutnya paling baik. Yang tidak akan menyakiti siapa-siapa, terutama ibunya tersayang.
Gadis kecil berparas manis itu mulai menulis. Pensil di tangannya bergetar.
Tuhan yang baik, tolonglah Ani. Kenapa Ayah jahat sekali pada Ani jika Ibu sedang tidak di rumah? Ayah membuat Ani sakit. Tapi Ani tidak boleh bilang pada Ibu. Ayah bilang, kalau sampai Ibu tahu maka Ibu akan mati. Ani tidak mau Ibu meninggal. Ani takut sekali. Kata Ayah, kalau sampai orang lain tahu, Ani akan dibuang ke dalam sumur di belakang rumah. Ani takut. Ibu Guru Nantri bilang, anak-anak harus patuh pada orang tua. Dan Tuhan sayang pada anak yang patuh pada orang tua. Tapi Ayah jahat. Kenapa Polisi tidak menangkap Ayah saja? Di televisi orang-orang jahat ditembak dan ditangkap Polisi. Tapi Ani takut Ibu sedih jika Ayah ditembak dan ditangkap Polisi. Tuhan yang baik, dulu Ani tak punya Ayah. Lalu Ibu membawa Ayah ke rumah. Tapi Ayah jahat pada Ani. Tuhan ambil saja Ayah yang ini, dan ganti dengan Ayah yang baru yang baik hati. Cepat ya, Tuhan. Ani takut sekali. Ani tidak mau sakit terus. Terimakasih.
Dari Suryani, kelas I B SD. Jalahari
SURAT itu kini sudah terlipat dalam amplop biru muda bergambar balon warna-warni di sisi depan bagian kiri. Sekarang tinggal menulis alamatnya. Suryani menulis: Untuk Tuhan di Surga. Surat siap dikirim. Tapi, berapa harga perangko ke Surga? Kata Ibu Syarifa Guru Agama, surga itu jauh sekali letaknya. Pasti amat mahal harga perangkonya. Suryani menghitung sisa uang jajan yang telah dikumpulkannya selama seminggu terakhir. Lima ribu rupiah. Tak mungkin ia minta uang pada Ibu untuk membeli perangko. Ibu pasti akan bertanya, dan bagaimana kalau nanti ketahuan? Lagipula berapa kode pos untuk Surga? Ia ingat perkataan Kak Mila, tetangganya yang punya hobi surat menyurat itu. Setiap surat yang dikirim haruslah diberi kode pos supaya sampai di tujuan dan tidak tersasar. begitu kata Kak Mila. Bagaimana ya mengirimnya? keluh Suryani dalam hati. Lama ia tercenung memandangi amplop biru muda di tangannya.
Setitik cahaya memancar di mata Suryani yang murung. Cepat-cepat dimasukkannya surat itu dan uang lima ribu rupiah miliknya ke dalam saku celana. Dengan mengendap-endap tanpa suara, Suryani menyelinap keluar lewat bagian samping rumah yang sempit, kotor dan jarang dilalui. Gadis cilik itu berhasil meluputkan diri dari sang ayah yang sedang asyik menonton filem India di ruang tengah. Sesampainya di luar rumah, Suryani yang kurus bergegas menyeret langkah kakinya. Ditahannya kuat-kuat rasa nyeri yang menusuk-nusuk itu. Surat ini harus segera dikirim, tekadnya.
SIANG itu orang-orang berkerumun di bawah tangga jembatan penyeberangan.
“Ada apa, Mas?” tang seseorang berjaket biru.
“Anak kecil jatuh, Bang. Terpeleset dari tangga jembatan.”
“Aduuuuh, kasihan. Anak siapa ya?” cetus seorang ibu setengah baya dengan wajah iba.
“Tangga jembatan penyeberangan kok dibiarkan tanpa pagar! Bikin orang celaka. Bagaimana ini pemerintah!” tukas yang lain dengan nada tinggi.
“Waaah, lha anak ini kan barusan beli balon gas dari saya,” sela seorang laki-laki tua berkaos lusuh yang mengenakan topi dari anyaman pandan.
“Waduh! Kok nggak bergerak? Jangan-jangan sudah ‘lewat’...”
“Cepat, bawa ke rumah sakit. Panggil taksi!”
Di atas jembatan sebuah balon gas berwarna merah membubung perlahan ke angkasa. Melayang pergi bersama angin, menjauhi kerumunan orang-orang di bawahnya. Di ujung benang pengikatnya secarik amplop biru muda terikat erat
Comments
Post a Comment