LOPO CENDANA - Beban perasaan paling berat bagi kami saat itu, terutama bagi Arum, istriku, adalah sudah tiga tahun menikah belum juga dikaruniai anak. Karena itulah lebaran kemarin aku tidak mengajak Arum pulang ke desa. Hal ini kulakukan demi untuk menjaga perasaan istriku. Kasihan Arum, setiap pulang ke desa, kakak-kakakku selalu bertanya kapan kami punya anak. Kata mereka, sebuah rumah tangga tanpa anak, menjadikan hidup ini hampa. Dan tidak segan-segan saudaraku, terutama Yu Mi, kakakku tertua, dengan terang-terangan menuduh Arum gabug, sebutan untuk perempuan mandul di desaku. Berkali-kali aku menjelaskan kepada mereka bahwa kami tidak mandul. Setiap dokter yang memeriksa kami menyatakan bahwa kami bisa punya anak. Kami subur. Tapi mana mungkin mereka, terutama Yu Mi, percaya.
“Buktinya kalian sudah tiga tahun menikah belum punya anak juga. Istrimu itu pasti mandul. Aku percaya bukan kamu yang mandul tapi Arum,” kata Yu Mi.
Wajar kalau setiap pulang dari desaku, Arum menangis tidak henti-hentinya. Tahun lalu Arum sampai minta cerai karena tidak tahan mendengar sindiran keluargaku. Maka tahun ini aku sengaja tidak mengajak istriku lebaran ke desa. Aku tidak peduli apa yang diomongkan saudara-saudaraku. Aku mencoba tutup telinga dan diam saja atas celaan mereka. Katanya istriku tidak mau berbakti kepada mertua dan tidak mau kenal lagi kepada ipar-iparnya.
“Buktinya kalian sudah tiga tahun menikah belum punya anak juga. Istrimu itu pasti mandul. Aku percaya bukan kamu yang mandul tapi Arum,” kata Yu Mi.
Wajar kalau setiap pulang dari desaku, Arum menangis tidak henti-hentinya. Tahun lalu Arum sampai minta cerai karena tidak tahan mendengar sindiran keluargaku. Maka tahun ini aku sengaja tidak mengajak istriku lebaran ke desa. Aku tidak peduli apa yang diomongkan saudara-saudaraku. Aku mencoba tutup telinga dan diam saja atas celaan mereka. Katanya istriku tidak mau berbakti kepada mertua dan tidak mau kenal lagi kepada ipar-iparnya.
Sesungguhnya aku berhak marah mendengar komentar mereka yang tidak fair itu. Tapi, aku pulang ke desa tidak untuk bertengkar dengan saudara-saudaraku. Justru aku ingin menyambung silaturahmi agar lebih erat. Kalau aku tidak mengajak Arum, semata-mata untuk menjaga perasaannya. Selama ini istriku terlalu banyak mengalah atas komentar saudara-saudaraku yang kadang memang semena-mena. Mereka tidak pernah berpikir bahwa tidak punya anak itu bukan kesalahan, apalagi dosa. Aku percaya kelahiran, jodoh, dan kematian itu Allah yang menentukan.
* * *
Selama tiga tahun aku periksa ke dokter ahli kandungan, tapi belum juga ada hasilnya. Akhirnya aku berhenti melakukan konsultasi dengan ginekolog. Hal itu bukan berarti aku putus asa. Namun, kami sudah pasrahkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Aku percaya, salah satu sifat Allah adalah kun fayakuun, kalau berkata “jadi maka jadilah.” Aku percaya, Allah tidak akan memiliki kesulitan apa pun untuk mengaruniai kami anak. Kami baru tiga tahun menikah. Ada seorang temanku yang sudah lima tahun menikah baru punya anak. Bahkan kepala kantorku baru punya anak setelah sepuluh tahun menikah. Seandainya pun kami memang tidak dikaruniai anak, saya yakin bahwa itu adalah bagian dari rencana Allah.
Aneh. Setelah berpasrah diri, hati kami menjadi lebih tenang. Kami tidak menggubris lagi omongan tetangga, sindiran keluarga atau komentar-komentar yang bernada mencemooh. Bahkan Arum malah tersenyum jika dikatakan mandul. Aku menyarankan kepada Arum, bagaimana kalau kami mengangkat anak dari lingkungan keluarganya, keluargaku, atau orang lain sama sekali. Namun, Arum justru meminta aku bersabar.
“Baru tiga tahun, Mas. Mengapa, sih, buru-buru? Aku percaya Gusti Allah akan memberikan anak kepada kita. Tapi siapa tahu Allah tidak mau terburu-buru karena menganggap kita belum siap,” kata istriku pada suatu malam ketika pelan-pelan aku mengelus perutnya.
“Jadi, kamu tidak takut lagi diejek saudara-saudaraku?’
“Tidak. Untuk apa? Mereka hanya manusia biasa yang hanya bisa bicara. Mereka bukan Tuhan yang punya wewenang untuk menentukan.”
“Bagaimana kalau Lebaran Haji kita mudik?”
“Untuk menguji ketabahanku? Ayo! Siapa takut?”
Benar juga, ketika kami mudik Arum sama sekali tidak minder seperti waktu-waktu yang lalu. Ringan saja dan tanpa rasa marah ia menjawab semua pertanyaan dan sindiran kakak-kakakku. Bahkan Yu Mi yang biasanya paling kejam menyindir Arum, kali ini tidak berkutik menghadapi istriku.
“Yu Mi, saya ingin tanya, mengapa Yu Mi hanya bisa melahirkan empat anak dan semuanya perempuan? Padahal Mas Dayat, suami Yu Mi, ingin punya anak lelaki.”
“Itu kehendak Yang Maha Kuasa, Dik Arum.”
“Yu Mi percaya kepada Allah?”
“Ya percaya to, Rum.”
“Yu Mi percaya kalau sampai sekarang kami belum punya anak karena juga kehendak Yang Maha Kuasa?”
Yu Mi tergagap dan tidak bisa menjawab pertanyaan Arum. Diam-diam aku senyum sendiri. Sejak saat itu, tidak seorang pun dari saudara-saudaraku mengejek Arum sebagai perempuan gabug.
* * *
Perubahan pada diri Arum membuat aku menjadi lebih tenang. Aku tidak takut lagi istriku diganggu dengan berbagai pertanyaan para tetangga, saudara, atau siapa saja, sehubungan kami belum punya anak. Aku sekarang percaya, Arum akan mampu menangkis semua pertanyaan dan “serangan” dengan tepat dan jitu. Namun, ternyata ketenanganku itu tidak berlangsung lama. Aku melihat ada perubahan yang menurutku tidak wajar pada diri istriku.
Pada suatu malam yang cerah, tiba-tiba istiku mengajak keluar rumah. Padahal, malam sangat dingin dan angin terus menerus berembus.
“Nanti kamu masuk angin, Arum. Angin malam tidak baik untuk kesehatan kita.”
“Pokoknya aku ingin keluar rumah, Mas. Aku ingin menghitung bintang.”
Aku terkejut. Jangan-jangan Arum mengalami stres berat. Apakah selama ini Arum hanya berpura-pura kuat menghadapi segala rongrongan itu?
“Aku ingin menghitung bintang, Mas. Kalau Mas tidak mau menemani, aku akan keluar sendirian.”
“Bintang itu banyak dan tinggi. Kamu tidak akan bisa menghitungnya.”
“Dan bintang-bintang itu indah, Mas. Maka aku akan menghitungnya.
“Sampai berapa kamu akan menghitungnya?”
“Seratus, dua ratus, seribu, dua ribu, sejuta, dua juta. Aku akan terus menghitungnya.”
Arum mengeluarkan kursi lalu dibawa ke halaman samping rumah kami. Istriku duduk di kursi itu dan memandang lurus-lurus ke langit. Mulutnya komat kamit. Rupanya ia benar-benar menghitung bintang.
Aku semakin cemas atas ulah istriku itu. Apalagi tidak hanya malam itu saja Arum minta ditemani menghitung bintang, tetapi hampir setiap malam. Aku benar-benar cemas. Sampai-sampai aku konsultasi dengan seorang psikiater sahabat dekatku. Anehnya, sahabatku itu hanya senyum-senyum saja dan menyuruhku bersabar sambil terus menemani Arum menghitung bintang.
“Nanti istrimu akan bosan sendiri,” kata psikiater temanku itu.
“Aku khawatir.”
“Ya, paling-paling nanti Arum masuk angin atau flu. Itu hanya penyakit fisik ringan saja. Aku percaya secara jiwani, istrimu sehat walafiat.
Dan rupanya apa yang dikatakan temanku itu benar. Arum bosan sendiri dan mulai bersin-bersin.
“Apa kataku, angin malam tidak baik bagi kesehatan kamu.”
“Tapi ini bukan kehendakku, Mas.”
“Bukan kehendak kamu?”
“Anak kita yang menghendakinya.”
“Anak kita, Arum?”
Dengan serta merta Arum menubrukku dan memeluk tubuhku erat-erat.
“Sebulan lalu aku periksa dokter dan hasilnya positif.”
“Kamu periksa dokter tanpa mengajak aku?”
“Aku kasihan kalau hasilnya negatif dan Mas kecewa lagi. Makanya aku periksa sendirian.”
“Jadi?”
“Kita akan punya anak, Mas. Sungguh keputusan kita untuk berpasrah diri sangat tepat. Siapa yang bisa menghalangi sifat Allah yang kun fayakuun itu? Tidak ada, Mas.”
Kupeluk tubuh Arum dan kuciumi seluruh wajahnya. Dengan lincah Arum melepaskan diri dari pelukanku. Kami berpandangan lama sekali. Dan kami pun berpelukan lagi. Kini lebih erat. * * *
Comments
Post a Comment