“Markus 1:35 Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia (Yesus) bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana”.
10-15 tahun yang lalu, rata-rata setiap keluarga di kota Gunungsitoli, Nias masih mengadakan kebaktian pagi atau malam. Kurang lebih 10 menit mereka bernyanyi, membaca Firman dan berdoa. Sehingga tidak jarang kita mendengar pagi hari bahkan malam hari bagaikan festival nyanyian rohani. Semua seakan berlomba dalam memuji Tuhan. Namun sekarang ini mulai jarang kita temukan hal yang demikian. Hanya beberapa keluarga saja yang mempertahankan tradisi yang demikian.
Hal ini disebabkan perasaan jemu, bosan bahkan malu di dengar tetangga. Apalagi bila anggota keluarga tersebut buru-buru dalam memulai aktivitas, sehingga lupa berdoa. Lebih parah lagi bila lama bangun, makin lupa lagi berdoa he..he..Padahal tanpa disadari kebaktian keluarga itu sangat penting baik dalam membangun persekutuan dalam keluarga terlebih dengan Tuhan. Selain itu jangankan dulu untuk doa bersama, doa pribadi atau SATE (Saat teduh) pribadi mulai berkurang. Seakan-akan SATE sekarang hanya dipahami dalam bingkai makanan dan juga “Salam Tempel” bagi para pelayan he..he…Banyak alasan, tidak sempatlah, sibuklah, buru-burulah, bosan, nanti-lah, dll. Coba kita bayangkan juga ketika kita berdoa dalam keadaan sulit dan tertekan, Tuhan menjawab juga, “maaf anak-Ku, Aku tidak punya waktu, Aku capek, nantilah”
Ketika saya menjalani kuliah di Bossey, Switzerland yang nota bene adalah sekolah oikumene, kami berasal dari latar belakang denominasi gereja yang berbeda (Katolik, Ortodoks, Anglican, Lutheran, Reform, Metodist, Baptist, Pentakosta-Kharismatik). Secara pribadi saya merasakan bahwa sangat sulit beribadah dengan teman-teman dari denominasi yang lain. Ortodoks dan Katolik yang sangat kaku!. Baptis dan Pentakosta-Kharismatik dengan semangat ibadah yang berapi-api!. Lutheran dan Reform yang konservatif!. Metodist yang mengarah Injili dan lebih menonjolkan kesaksian!. Namun dalam prakteknya kita tetap menjalankan ibadah dan persekutuan dengan Tuhan tanpa kehilangan identitas kami. Kami saling beribadah, bernyanyi, dan berdoa sesuai dengan kepercayaan kami masing-masing. Jadi jangan heran ketika berdoa, ada yang diam, ada yang bersuara, bahkan ada yang berdiri. Namun itu tidak mengganggu yang lain. Satu pengalaman berharga ketika di sekolah tersebut, ibadah bersama di Kapel hanya 1 kali sehari pada jam 8.30-09.00 pagi hari. Itupun hanya 4 kali dalam seminggu (Senin-Selasa-Kamis dan Jum’at). Tetapi kenyataannya teman-teman yang lain tetap mengambil waktu untuk datang ke kapel pada pagi hari, siang, sore bahkan tengah malam, meskipun tidak ada kebaktian. Mereka hanya sekedar duduk, membaca Firman, merenung sambil berdoa. Jujur, dalam hati saya mengatakan mereka ini terlalu pietis (saleh) dan mau menunjukkan kesalehan. Tetapi mereka terus melakukan itu, dan saya melihat ada sesuatu yang berbeda ketika keluar dari situ. Ada damai. Lama kelamaan saya mencoba melakukannya. Saya hanya sekedar duduk di Kapel sambil merenung dan berdoa. Pada awalnya tidak ada pengaruh apa-apa yang saya rasakan. Tetapi lama kelamaan saya merasakan ada damai dalam diri saya dan berani menjalani kehidupan pada hari itu”.
“Selain dari pada itu rata-rata gereja di Eropa selalu terbuka pintu dan tidak dijaga. Padahal semua barang gereja masih lengkap di dalamnya[1] . Dan setiap hari selalu ada orang datang kegereja hanya sekedar duduk dan merenung di dalamnya. Hal itu juga terjadi dengan teman-teman saya ketika kami mengadakan studi ke daerah lain ataupun hanya sekedar jalan-jalan ke satu tempat, mereka masih menyempatkan diri datang ke gereja untuk duduk, merenung dan berdoa’.
Firman Tuhan hari ini juga mengajar kita bagaimana Yesus sendiri dalam memulai segala aktivitas-Nya, Dia mengadakan persekutuan dengan Tuhan. Dalam kesibukan yang banyak, tantangan yang pasti menghadang, menghadapi orang banyak yang berbeda latar belakang sosial, ekonomi dan budaya, Yesus selalu menyerahkan diri kepada Tuhan. Meminta petunjuk, kekuatan, hikmat dan semangat yang baru dari Tuhan. Hasilnya juga dapat kita lihat, bahwa dimanapun Yesus berada orang datang mendengar pengajaran-Nya dan banyak orang terberkati dengan pelayanan-Nya. Bagaimana dengan kita?, saya yakin hari ini banyak tugas yang akan kita kerjakan dan laksanakan, banyak pergumulan yang kita hadapi, kita tertekan dengan beban pekerjaan, tetapi marilah kita mengambil sedikit waktu untuk menyerahkan diri ke dalam tangan Tuhan sehingga kita memperoleh damai. Seperti pengalaman Tuhan Yesus dalam “Matius 14:13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka”. “Lukas 5:16 Akan tetapi Ia mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa. Selamat beraktivitas..
Beda dengan kita di Nias atau di Indonesia, gereja mesti dikunci karena tidak terjamin keamanan. Ada saja orang yang dapat mengambil barang di gereja, meski dia tahu itu rumah Tuhan. Jika belum siap atau tidak ada pintunya, maka barang-barang dibawa kerumah untuk mengantisipasi orang yang “jahil tangannya”.
Comments
Post a Comment