Saatnya Mendengar Jeritan dari Papua
Satu per satu pembicara diskusi buku Papua Road Map hasil penelitian LIPI mulai membuka kartu yang membuat persoalan di sekitar masyarakat Papua tidak pernah berakhir. Salah satu yang penting berasal dari Syamsuddin Haris yang dengan tegas mengatakan bahwa jika dalam tiga atau empat tahun mendatang, diskusi soal Papua masih berputar di sekitar isu yang sama, berarti pemerintah kurang memberi apresiasi terhadap investasi akademis. "Semuanya hanya akan sia-sia jika hasil penelitian ini tidak bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah," katanya pada sesi diskusi seusai peluncuran buku yang diedit peneliti Muridan S Widjojo di Jakarta, Selasa (30/6).
Syamsuddin melesakkan persoalan ini ke tengah diskusi beberapa saat setelah Muridan memaparkan empat hal yang sampai sekarang belum bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat Papua. Marginalisasi orang-orang Papua, kasus pelanggaran HAM yang berlarut-larut, status dan identitas orang Papua sejak bergabung ke NKRI, dan tidak adanya kesamaan persepsi antara Jakarta dan Papua soal tata pemerintahan. Orang Papua belum bebas berbicara mengenai kekhasan dan karakteristik mereka.
Mereka masih terpenjara dari pendekatan pembangunan struktural up-down. Ruang untuk mengekspresikan kepapuaan dalam bineka tunggal ika pun terkadang dikebiri oleh konsep NKRI harga mati. Jelas paradigma pembangunan masih dilandaskan pada pertahanan militer, bukan pada paradigma sosial budaya. Menurutnya, perlu komitmen yang kuat agar semua bisa konsisten memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk berbicara menurut karakteristik Papua.
"Otsus yang selama ini dibelokkan pada ranah implementasi akhirnya lebih merupakan soal baru yang harus diselesaikan, bukan solusi terhadap persoalan yang ada. Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya sikap saling percaya di antara masyarakat Papua dengan para pemangku kebijakan terutama yang ada di Jakarta," ujar Muridan dalam paparannya.
Desakan untuk melaksanakan dengan tuntas undang-undang Otsus juga datang dari Effendi Choiri yang telah banyak makan asam-garam di parlemen. "Otsus yang nota bene merupakan suara rakyat Papua sudah sepantasnya dilaksanakan secara penuh. Perlu ada pematangan terhadap proses menuju kesempurnaan. Inilah saat yang tampan bagi semua untuk mendengar apa yang sesungguhnya menjadi keinginan rakyat Papua," kata Effendi.
Mendengar keinginan rakyat Papua dengan cara berpikir dan bersaudara orang Papua merupakan salah satu jalan bagi kentalnya hubungan persaudaraan sesama Indonesia. "Ini juga saat yang tampan bagi semua untuk bersama di atas 'satu tikar' untuk menghentikan semua konflik yang terjadi selama ini. Jangan lagi lestarikan konflik di tanah Papua," kata Septer Manufandu.
Papua Road Map menurutnya bisa menjadi pintu penolong yang bisa mempertemukan persepsi Jakarta dan Papua terhadap soal-soal yang selama ini telah jadi dangkal karena terus-menerus didiamkan.
Ia juga menekankan penghargaan rakyat Papua yang begitu tinggi terhadap tanah dan sumber daya alam. "Semua itu telah dianggap sebagai mama yang bisa memberi kehidupan bagi semua. Kalau semua itu hanya bisa terus dieksploitasi semena-mena, maka esensi budaya Papua telah dicederai," sambungnya.
Ruang untuk rakyat Papua yang juga mengayomi warga keturunan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku yang lahir dan besar di Papua dibutuhkan untuk menenun Papua baru. Papua baru yang sejajar dan dihargai sesuai dengan keunikannya dalam pangkuan mama pertiwi Nusantara.
Konsentrasi
Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem akan menguatkan rakyat Papua agar merasa hidup di tanahnya sendiri. Konsentrasi pembangunan yang dipadatkan di kampung-kampung (sebutan untuk desa-desa di Papua) diupayakan bisa menjadi stimulan bagi pembangunan rasa kepapuan, rasa ke-bineka-tunggal-ika-an, rasa keindonesiaan.
Pernyataan yang dilepas Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono pada momen duduk bersama di Jakarta menyentak perhatian semua yang hadir. "Sekarang bukan saatnya menggurui orang Papua, sekarang saatnya mendengar orang Papua," katanya.
Dua hal yang ditekankan Juwono, yakni implementasi tata pemerintahan yang baik di Papua, hingga Papua jangan lagi dipandang sebagai provinsi yang bermasalah. Sudah saatnya Jakarta dan Papua menyamakan persepsi dengan memberi perhatian lebih pada kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di Tanah Papua.
Secara lebih spesifik, Pastor Neles Tebay mengatakan bahwa selain tata kepemerintahan yang dilandaskan pada kearifan lokal Papua, duduk bersama yang sepantasnya dibuat di Papua mesti diarahkan untuk menghasilkan kesepakatan bersama tentang apa yang akan dibuat di Papua.
"Dan yang paling penting adalah bagaimana orang mengusahakan mekanisme yang bisa diterima bersama dan berorientasi menyelesaikan masalah, bukan menambah persoalan. Duduk bersama ini harus diikuti dengan hati dingin dan juga iktikad yang baik untuk Papua yang lebih baik dan bineka tunggal ika yang lebih baik. Semuanya mesti berpartisipasi, termasuk militer. Semua diberi ruang di atas 'tikar adat' tersebut," sambungnya.
Adakah sikap ksatria untuk menerima kesegaran dari saudara-saudari Papua. Mungkinkah semua yang bernaung di bawah Pancasila dan bineka tunggal ika, mau mendengar sisa yang tertumpah dari hati-nurani masyarakat Papua? [Ermalindus Sonbay]
Satu per satu pembicara diskusi buku Papua Road Map hasil penelitian LIPI mulai membuka kartu yang membuat persoalan di sekitar masyarakat Papua tidak pernah berakhir. Salah satu yang penting berasal dari Syamsuddin Haris yang dengan tegas mengatakan bahwa jika dalam tiga atau empat tahun mendatang, diskusi soal Papua masih berputar di sekitar isu yang sama, berarti pemerintah kurang memberi apresiasi terhadap investasi akademis. "Semuanya hanya akan sia-sia jika hasil penelitian ini tidak bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah," katanya pada sesi diskusi seusai peluncuran buku yang diedit peneliti Muridan S Widjojo di Jakarta, Selasa (30/6).
Syamsuddin melesakkan persoalan ini ke tengah diskusi beberapa saat setelah Muridan memaparkan empat hal yang sampai sekarang belum bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat Papua. Marginalisasi orang-orang Papua, kasus pelanggaran HAM yang berlarut-larut, status dan identitas orang Papua sejak bergabung ke NKRI, dan tidak adanya kesamaan persepsi antara Jakarta dan Papua soal tata pemerintahan. Orang Papua belum bebas berbicara mengenai kekhasan dan karakteristik mereka.
Mereka masih terpenjara dari pendekatan pembangunan struktural up-down. Ruang untuk mengekspresikan kepapuaan dalam bineka tunggal ika pun terkadang dikebiri oleh konsep NKRI harga mati. Jelas paradigma pembangunan masih dilandaskan pada pertahanan militer, bukan pada paradigma sosial budaya. Menurutnya, perlu komitmen yang kuat agar semua bisa konsisten memberikan ruang bagi rakyat Papua untuk berbicara menurut karakteristik Papua.
"Otsus yang selama ini dibelokkan pada ranah implementasi akhirnya lebih merupakan soal baru yang harus diselesaikan, bukan solusi terhadap persoalan yang ada. Keadaan ini diperparah oleh tidak adanya sikap saling percaya di antara masyarakat Papua dengan para pemangku kebijakan terutama yang ada di Jakarta," ujar Muridan dalam paparannya.
Desakan untuk melaksanakan dengan tuntas undang-undang Otsus juga datang dari Effendi Choiri yang telah banyak makan asam-garam di parlemen. "Otsus yang nota bene merupakan suara rakyat Papua sudah sepantasnya dilaksanakan secara penuh. Perlu ada pematangan terhadap proses menuju kesempurnaan. Inilah saat yang tampan bagi semua untuk mendengar apa yang sesungguhnya menjadi keinginan rakyat Papua," kata Effendi.
Mendengar keinginan rakyat Papua dengan cara berpikir dan bersaudara orang Papua merupakan salah satu jalan bagi kentalnya hubungan persaudaraan sesama Indonesia. "Ini juga saat yang tampan bagi semua untuk bersama di atas 'satu tikar' untuk menghentikan semua konflik yang terjadi selama ini. Jangan lagi lestarikan konflik di tanah Papua," kata Septer Manufandu.
Papua Road Map menurutnya bisa menjadi pintu penolong yang bisa mempertemukan persepsi Jakarta dan Papua terhadap soal-soal yang selama ini telah jadi dangkal karena terus-menerus didiamkan.
Ia juga menekankan penghargaan rakyat Papua yang begitu tinggi terhadap tanah dan sumber daya alam. "Semua itu telah dianggap sebagai mama yang bisa memberi kehidupan bagi semua. Kalau semua itu hanya bisa terus dieksploitasi semena-mena, maka esensi budaya Papua telah dicederai," sambungnya.
Ruang untuk rakyat Papua yang juga mengayomi warga keturunan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku yang lahir dan besar di Papua dibutuhkan untuk menenun Papua baru. Papua baru yang sejajar dan dihargai sesuai dengan keunikannya dalam pangkuan mama pertiwi Nusantara.
Konsentrasi
Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem akan menguatkan rakyat Papua agar merasa hidup di tanahnya sendiri. Konsentrasi pembangunan yang dipadatkan di kampung-kampung (sebutan untuk desa-desa di Papua) diupayakan bisa menjadi stimulan bagi pembangunan rasa kepapuan, rasa ke-bineka-tunggal-ika-an, rasa keindonesiaan.
Pernyataan yang dilepas Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono pada momen duduk bersama di Jakarta menyentak perhatian semua yang hadir. "Sekarang bukan saatnya menggurui orang Papua, sekarang saatnya mendengar orang Papua," katanya.
Dua hal yang ditekankan Juwono, yakni implementasi tata pemerintahan yang baik di Papua, hingga Papua jangan lagi dipandang sebagai provinsi yang bermasalah. Sudah saatnya Jakarta dan Papua menyamakan persepsi dengan memberi perhatian lebih pada kearifan-kearifan lokal yang tumbuh di Tanah Papua.
Secara lebih spesifik, Pastor Neles Tebay mengatakan bahwa selain tata kepemerintahan yang dilandaskan pada kearifan lokal Papua, duduk bersama yang sepantasnya dibuat di Papua mesti diarahkan untuk menghasilkan kesepakatan bersama tentang apa yang akan dibuat di Papua.
"Dan yang paling penting adalah bagaimana orang mengusahakan mekanisme yang bisa diterima bersama dan berorientasi menyelesaikan masalah, bukan menambah persoalan. Duduk bersama ini harus diikuti dengan hati dingin dan juga iktikad yang baik untuk Papua yang lebih baik dan bineka tunggal ika yang lebih baik. Semuanya mesti berpartisipasi, termasuk militer. Semua diberi ruang di atas 'tikar adat' tersebut," sambungnya.
Adakah sikap ksatria untuk menerima kesegaran dari saudara-saudari Papua. Mungkinkah semua yang bernaung di bawah Pancasila dan bineka tunggal ika, mau mendengar sisa yang tertumpah dari hati-nurani masyarakat Papua? [Ermalindus Sonbay]
Comments
Post a Comment