Pernah kucatat dalam kertas sejumlah ratusan halaman sebagai BUGIL. Tepatnya kumpulan catatan tentang perjalanan menjadi diri sendiri yang dialami oleh siapa pun, apa pun dan yang kualami sendiri. Kisah-catatan itu dijilid manual, tidak diperjualbelikan, karena terlalu riskan untuk ditampil-tonjolkan ke hadapan public, lantaran pandangan kita tentang BUGIL masih sebatas ‘Penis’ dan ‘Vagina’. Walaupun sejujurnya , tidak semua orang berpandangan demikian. Namun sebagian besar orang di negeri ini masih berpandangan tentang BUGIL sebagaimana yang saya cemaskan.
Ringkasnya, sebagai mana yang dikisahkan dalam BUGIL adalah proses perjalanan kehidupan manusia untuk semakin menjadi dirinya sendiri. Bahwa perjalanan menjadi diri sendiri adalah perjalanan menuju mengatakan dan berbuat sejauh ‘inilah aku’. ‘Inilah aku’ yang sejujurnya setelah melihat segala potensi-kelebihan juga kekurangan dan keterbatasan.
Bugil adalah sebuah perjalanan pulang menuju kepolosoan yang sesungguhnya, ketika setiap dari kita berkutat-seteru dengan waktu dan kesibukan, gambaran-gambaran tentang orang lain, pantulan-pantulan idoa, dan juga selimut kabut kesenangan-kesenangan untuk menjadi pribadi yang sadar vahwa sesungguhnya setiap dari kita diberikan Tuhan talenta.
Bugil yang serupa itu, sesungguhnya adalah roh dari waktu, jiwa dari sejarah. Waktu yang terus berproses, sejarah yang tampaknya seperti berulang adalah proses perjalanan panjang menuju hakikatnya yakni sebagai kehidupan yang sesungguhnya, apa adanya, sebagaimana yang dianugerah-ciptakan Tuhan. Bahwa kehidupan sesungguhnya adalah polos, telanjang dan atau BUGIL.
Serupa kafan putih, muasal kehidupan manusia, muasalah kehidupan alam semesta sesungguhnya adalah polos. Namun dalam prosesnya kehidupan bersentuhan dengan banyak ragam peristiwa, pengalaman. Pun berjumpa dengan beragam orang dan kepentingan. Dalam persentuhan dan perjumpaan itu, tanpa disadari kita disandera oleh orang lain dan atau apa pun. Dalam persentuhan dan perjumpaan itu kita ditarik oleh gambaran-gambaran umum tentang kesenangan-kesenangan yang akhirnya berubah menjadi kebutuhan-kebutuhan palsu.
Dalam dan melalui Bugil, sebagaimana yang kita pahami sebagai yang telanjang dan polos, kita diajak untuk kembali bertanya siapa sesngguhnya kita atau aku atau saya. ‘Who am I”. Sebuah ajakan yang tidak berdasarkan pada teori mana pun, tetapi berangkat dari pengalaman-pengalaman kehidupan yang memang tanpa disadari adalah contoh kongkret dari proses menuju BUGIL.
Kita mengenal proses kembali kepada BUGIL itu sebagai REFLEKSI. Berefleksiklah.
Ringkasnya, sebagai mana yang dikisahkan dalam BUGIL adalah proses perjalanan kehidupan manusia untuk semakin menjadi dirinya sendiri. Bahwa perjalanan menjadi diri sendiri adalah perjalanan menuju mengatakan dan berbuat sejauh ‘inilah aku’. ‘Inilah aku’ yang sejujurnya setelah melihat segala potensi-kelebihan juga kekurangan dan keterbatasan.
Bugil adalah sebuah perjalanan pulang menuju kepolosoan yang sesungguhnya, ketika setiap dari kita berkutat-seteru dengan waktu dan kesibukan, gambaran-gambaran tentang orang lain, pantulan-pantulan idoa, dan juga selimut kabut kesenangan-kesenangan untuk menjadi pribadi yang sadar vahwa sesungguhnya setiap dari kita diberikan Tuhan talenta.
Bugil yang serupa itu, sesungguhnya adalah roh dari waktu, jiwa dari sejarah. Waktu yang terus berproses, sejarah yang tampaknya seperti berulang adalah proses perjalanan panjang menuju hakikatnya yakni sebagai kehidupan yang sesungguhnya, apa adanya, sebagaimana yang dianugerah-ciptakan Tuhan. Bahwa kehidupan sesungguhnya adalah polos, telanjang dan atau BUGIL.
Serupa kafan putih, muasal kehidupan manusia, muasalah kehidupan alam semesta sesungguhnya adalah polos. Namun dalam prosesnya kehidupan bersentuhan dengan banyak ragam peristiwa, pengalaman. Pun berjumpa dengan beragam orang dan kepentingan. Dalam persentuhan dan perjumpaan itu, tanpa disadari kita disandera oleh orang lain dan atau apa pun. Dalam persentuhan dan perjumpaan itu kita ditarik oleh gambaran-gambaran umum tentang kesenangan-kesenangan yang akhirnya berubah menjadi kebutuhan-kebutuhan palsu.
Dalam dan melalui Bugil, sebagaimana yang kita pahami sebagai yang telanjang dan polos, kita diajak untuk kembali bertanya siapa sesngguhnya kita atau aku atau saya. ‘Who am I”. Sebuah ajakan yang tidak berdasarkan pada teori mana pun, tetapi berangkat dari pengalaman-pengalaman kehidupan yang memang tanpa disadari adalah contoh kongkret dari proses menuju BUGIL.
Kita mengenal proses kembali kepada BUGIL itu sebagai REFLEKSI. Berefleksiklah.
Comments
Post a Comment