Kain Tenun Timor

Ragam hias kain selimut

Ada beberapa corak kain Timor, di antaranya kain buna dan sotis yang dibuat dengan teknik pakan tambahan atau songket, dan tenun ikat. Hasil tenunannya menjadi kain selimut yang berfungsi sebagai kain serba guna, dapat dipakai oleh laki-laki maupun perempuan. Sebagai pakaian adat laki-laki kain selimut dapat dikenakan sebagai selendang yang disandang di salah satu bahu, dapat pula dipakai sebagai kain yang dilingkarkan di sekeliling pinggang yang kemudian dilipat dan diikatkan di bagian depan. Penampilan ini dilengkapi dengan tas kecil dari tenunan yang digantungkan di salah satu bahu dengan tali panjang.

Penggunaan kain adat di Timor tidak dibedakan menurut jenis kelamin. Kain selimut juga dipakai sebagai kain sarung untuk wanita, dengan salah satu ujungnya dibiarkan melambai di salah satu sisi. Tidak ada kain khusus sebagai kain sarung dibuat untuk wanita.. Namun demikian perkembangan penggunaan kain tenun pada masa sekarang sudah mengalami perubahan, dimana tenun kain Timor dikelompokkan sesuai penggunaannya.

Saat ini, kain tenun terdiri atas tenunan kain sarung untuk perempuan, selimut untuk laki-laki, selendang untuk perempuan, selempang yang kecil memanjang untuk laki-laki dan daster kepala.

Desain kain tenun Timor

Desain kain tenun Timor yang khas terbagi dalam tiga bidang jalur, yaitu jalur bidang terlebar yang berada di tengah dan diapit oleh satu atau dua jalur yang lebih kecil di kiri-kanannya. Masing-masing jalur kain berbentuk jalur-jalur vertikal dengan kombinasi warna marun, cokelat, biru. dan merah bata. Ada warna-warna yang dibuat dan bahan alami, ada juga yang menggunakan bahan kimia berwarna terang dan lebih banyak variasinya, jalur-jalur ini dihias secara khas seperti berikut ini:

• Jika jalur yang terlebar bermotif ikat, maka kedua jalur yang mengapitnya dihias dengan ragam hias garis-garis warna.

• Apabila pada jalur terlebar diberi ragam hias motif pakan tambahan, maka kedua jalur yang mengapitnya mempunyai ragam hias yang bergaris-garis dan motif ikat pada jalur pinggir.

Mitos manusia dan burung pada kain Timor.

Motif yang khas dari kain Timor adalah motif burung dengan berbagai variasinya dan motif aritropomorph yaitu abstraksi figur manusia yang menjelma menjadi burung. Menurut kepercayaan orang Atoni, arwah orang meninggal akan berubah menjadi burung (Gittinger, 1978). Motif-motif lainnya adalah bentuk garis, belah ketupat, kait, atau spiral. Bentuk-bentuk motif tersebut dalam teknik pakan tambahan menghiasi bidang jalur terlebar. Pada jalur kecil dihias dengan teknik ikat.

Ada variasi ragam hias lain di mana jalur terlebar yang berada di tengah-tengah kain dibuat dengan teknik ikat lungsi. Teknik ini dilakukan untuk membuat motif-motif geometris dalam bentuk kait dan belah ketupat berangkai. Motif-motif tersebut mengisi jalur besar memanjang di tengah-tengah kain. Di bagian kiri dan kanannya diapit oleh jalur-jalur kecil bergaris warna-warni. Ragam hias bentuk kait ini berupa motif abstraksi manusia atau nenek moyang, burung, atau reptil. Motif tersebut merupakan kombinasi bentuk segiempat belah ketupat dan kait.

Corak motif ini antara lain banyak ditemukan pada kain tenun ikat dari Amanuban di daerah Niki - niki. Salah saru dari kain Timor dengan bentuk ragam hias tersebut merupakan koleksi dari Tropen Museum di Amsterdam, Belanda. Masih banyak lagi koleksi kain tenun Timor ini yang kini disimpan di berbagai museum di Eropa Barat selain di Belanda.

Pada kain yang dengan latar belakang warna biru-putih, jalur tengahnya didominasi oleh motif ikat bentuk abstraksi antara orang dan burung yang berbaris. Kepalanya memakai mahkota dan di antara kedua tangan dan kaki yang terbentang diisi dengan motif bentuk antara manusia dan burung tetapi dalam ukuran kecil. Kepercayaan akan mitos burung yang memberikan tanda-tanda baik dan adanya dewa yang berwujud burung adalah kepercayaan yang sama dengan orang Dayak di Kalimantan.

Secara simbolis, motif burung merupakan penggambaran dunia Atas dan motif reptil sebagai penggambaran dunia Bawah. Sedangkan manusia dalam hal ini merupakan penggambaran nenek moyang yang hidup di dunia fana. Menurut adat kepercayaan mereka, dewa Langit yang bernama Uis Neno adalah dewa yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan hidup, sedangkan dewa Bumi bernama Uis Afu. Kepercayaan kepada Uis Neno ini dipergunakan untuk menerjemahkan kepercayaan kepada Tuhan. Nenek moyang dalam tenun ikat Timor digambarkan dengan kedua tangan terbuka dan diangkat ke atas dengan kedua kaki terbuka.

Corak ragam hias ini menyerupai ragam hias pada kain layar pada kapal Lampung yaitu motif anthropomorph dengan kepala dan tutup kepala berbentuk segiempat yang menyerupai bentuk kepala burung. Bagi orang Atoni, burung sangat penting, selain sebagai penjelmaan roh orang yang meninggal, burung juga menjadi salah satu wujud totem mereka. Pada kain tenunnya, motif-motif tersebut ditempatkan dalam lajur vertikal besar atau teknik buna atau sods, Teknik ini merupakan suatu teknik khas Timor yang berkembang di Kabupaten Belu dan Soe, yang kemudian menyebar ke tempat-tempat penenun di Kupang.

Teknik buna ini mirip dengan teknik songket, dengan cara menyisipkan benang berwarna yang membentuk ragam hias yang menonjol di permukaan kain. Sedangkan dalam teknik sfip ragam hias yang dibentuk dari sisipan benang berwarna itu dimunculkan di kedua permukaan kain (belakang dan depan) sehingga sukar dibedakan bagian yang tampak depan dan rampak belakang.

Dalam ragam hias yang mencerminkan kehidupan masyarakatnya, ada suatu kekhususan dari kain tenun Timor yang dulu sengaja dibuat untuk laki-laki yang akan pergi perang. Mereka dibekali sebuah tas yang ditenun dan diberi ragam hias geometris yang disebut pilu saluf. Di dalam tas tersebut diisi dengan tembakau. Dalam upacara adat perkawinan, tas kecil ini merupakan pemberian dari pihak keluarga perempuan yang diberikan saat tukar-menukar pemberian dari kedua belah pihak pengantin. Pilu saluf ini akan disimpan sebagai benda pusaka dan diwariskan turun-temurun.