Renungan Minggu Biasa XV – Tahun C – 11 Juli 2010
Ul 30,10-14; Kol 1,15-20; Luk 10,25-37
Oleh: Rm. Victor Bani, SVD
Seorang pastor diminta untuk membantu misa hari minggu di salah satu paroki. Hari itu jadwal misanya lumayan padat. Jam 8 pagi misa pertama, dilanjutkan pembaptisan 10 orang anak dan sesudahnya misa perkawinan 2 pasang mempelai. Karena letak tempat tinggalnya dengan paroki itu lumayan jauh, kira-kira 2 jam perjalanan, dia harus berangkat pagi-pagi. Dan pagi itu, entah kenapa, jalanan begitu sepi. Meskipun telah 1 jam berjalan, dia tidak berjumpa dengan seorangpun juga.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia melihat seorang lelaki tua tergeletak di tengah jalan, berbaring tidak berdaya di sana dengan luka di sekujur tubuh dan darah dimana-mana, sekarat, pasti akan mati karena kedinginan dan kehabisan darah, kalau tidak ditolong segera. Sepertinya orang itu korban perampokan dengan kekerasan dan hampir semalaman dia dibiarkan terbaring di situ.
Pastor itu berpikir cepat, apa yang mesti dia perbuat. Seandainya dia menolong orang tersebut, dia harus membawanya kembali ke kotanya, karena di paroki yang hendak ditujunya itu, belum terdapat rumah sakit. Akan tetapi, kalau dia harus kembali ke kota, dia membutuhkan waktu paling kurang satu jam atau bahkan lebih. Belum lagi urusan di rumah sakit dan di kantor polisi untuk melaporkan perampokan itu, pasti akan memakan banyak waktu. Setelah itu, dia butuh dua jam lagi untuk tiba di paroki itu. Seandainya demikian, dia akan tiba di sana paling cepat setelah makan siang. Artinya: tidak akan ada berkat nikah, tidak akan ada permandian, apalagi misa pertama. Kalau hal itu terjadi, dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi umat di sana.
Kemungkinan kedua, dia bisa saja berpura-pura tidak melihat orang yang tengah sekarat di tengah jalan itu, tidak peduli, lewat begitu saja, sambil berharap akan ada orang yang datang setelah dia, yang dapat membantu orang tua itu. Bila hal itu terjadi, orang itu pasti akan selamat dan umatpun tidak akan dikecewakan, karena akan tetap ada misa pagi, upacara permandian dan berkat nikah. Semuanya akan baik-baik saja. Tetapi, bagaimana seandainya tidak ada orang lain lagi yang lewat di tempat itu? Dia tidak yakin orang itu akan bertahan lama, dia pasti akan meninggal.
Kalau hal itu terjadi, dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi umat di sana, seandainya tahu bahwa pastor mereka tidak menolong orang yang sedang sekarat dan tega membiarkan seorang tua mati di tengah jalan. Untuk apa dia berkotbah tentang cinta kasih, kalau pada prakteknya dia membiarkan orang mati dihadapannya tanpa berbuat apa-apa.
Pertanyaan kecil, jika anda dalam posisi pastor itu, apa yang akan anda perbuat? Tindakan apa yang akan anda ambil? Saya yakin sebagian besar dari kita akan katakan: saya akan menolong orang itu dengan membawanya ke rumah sakit. Jawaban yang sangat tepat, tindakan yang sangat terpuji. Tapi satu hal perlu diingat, umat tidak akan pernah mentolerir seorang imam yang tidak datang untuk merayakan misa, apapun alasannya.
Kalau anda tetap saja ngotot membantunya, konsekuensinya anda harus siap dimaki begitu banyak orang yang telah datang pagi-pagi untuk mengikuti misa, tetapi ternyata pastornya tidak datang.
Anda juga harus siap diumpat keluarga para bayi calon permandian yang upacara permandianya terpaksa dibatalkan. 10 orang bayi. Bayangkan saja, berapa banyak anggota keluarga bayi itu yang datang. Apalagi ada yang terpaksa harus membatalkan pesta permandiannya.
Tapi Itu belum semuanya. Masih ada 2 pasang calon pengantin, yang bukan saja akan batal pemberkatan nikahnya, tetapi terlebih resepsinya. Begitu banyak undangan sudah disebarkan, tempat resepsi sudah diboking jauh-jauh hari, rencana bulan madu dan sebagainya, semuanya itu terpaksa harus dibatalkan, karena pastornya tidak datang. Apabila hal itu terjadi, betapa sialnya nasib pastor itu. Itulah konsekuensinya, kalau anda tetap ngotot membantu orang tua yang sekarat itu.
Pertanyaannya masih tetap sama, jika anda dalam posisi pastor itu, apa yang akan anda perbuat?
Kita kembali ke Kitab Suci. Ada satu persamaan antara cerita di atas dengan perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Kedua cerita itu telah diatur sedemikian rupa, juga oleh Yesus, sehingga pastor, imam dan orang lewi itu tidak mempunyai pilihan lain untuk menolong, selain berjalan melewati orang itu dan membiarkannya tergeletak hampir mati sendirian di jalan.
Saya yakin, pastor, imam dan orang lewi itu bukannya tidak mau membantu, mereka bukannya tidak mau menolong, mereka hanya tidak bisa membayangkan resiko apa yang akan mereka hadapi dari umat, kalau mereka tidak datang pada waktunya untuk merayakan perayaan ekaristi, kalau mereka terlambat atau bahkan tidak datang untuk memberikan persembahan kepada Tuhan.
Bagi orang-orang Israel pada jaman Yesus, satu-satunya cara untuk mendapat jaminan tempat di surga adalah dengan banyak berdoa dan sesering mungkin mempersembahkan kurban kepada Tuhan. Dengan kata lain, mereka sangat mementingkan kekudusan pribadi. Kalau saya berdoa dan mengikut perayaan ekaristi setiap hari, itu sudah lebih dari cukup. Pendapat inilah yang ingin ditentang oleh Yesus.
Pertanyaan untuk kita, seandainya kedua cerita itu sudah diatur sedemikian rupa, lalu apa maksud yesus menyampaikan cerita itu kepada para pendengarnya? Yesus tahu kebiasaan dan pola pikir orang pada jamannya. Yesus tahu pendirian orang-orang sebangsanya, yang lebih mementingkan kekudusan pribadi mereka. Karena itu, lewat perumpamaan tentang orang samaria yang baik hati, Yesus mau katakan: apa yang kita lakukan, berdoa sepanjang hari, membawa persembahan kepada Tuhan, berdoa Rosario dan novena tanpa putus-putusnya, mengikuti perayaan ekaristi setiap hari, memberikan derma yang banyak kepada gereja, dsb, semuanya itu baik, luar biasa, tidak ada yang salah, tetapi itu belumlah cukup, dan yang lebih penting, bukan itu yang diinginkan Tuhan.
Kita boleh berdoa untuk kekudusan kita, tetapi pada saat yang bersamaan kita tidak boleh menutup mata dan hati kita terhadap penderitaan orang lain di sekitar kita. Kita tidak boleh melalaikan tugas dan kewajiban kita untuk membantu sesama yang sedang tertimpa kemalangan dan kesusahan hanya karena alasan tidak mempunyai waktu, hanya karena kita tidak ingin terlambat mengikuti doa bersama, misa dan sebagainya. Berdoa itu penting, tetapi menolong dan menyelamatkan nyawa sesama jauh diatas segala-galanya. Inilah yang ingin dikatakan dan ditekankan oleh Yesus kepada kita.
Kita boleh berdoa untuk kekudusan kita, tetapi pada saat yang bersamaan, kita mesti mau juga menerima dengan tangan terbuka semua orang yang datang meminta bantuan kita. Dengan kata lain, Kita mesti selalu siap untuk menjadi malaikat bagi sesama kita, malaikat, dia selalu berada di dekat kita dan siap membantu, kalau kita membutuhkan pertolongannya. Itulah yang mesti kita buat. Menolong sesama kita, apapun resikonya. Kalau kita mengakui diri sebagai pengikut kristus, kita harus berani berbuat lebih. Berani mengambil keputusan, meski resikonya besar buat kita.
Satu pertanyaan tersisa: lalu siapa itu sesama kita? Mereka bukanlah orang yang hidup jauh dari kita. Sebaliknya mereka adalah orang yang hidup dan tinggal bersama dengan kita. Orang tua kita, anak-anak kita, saudara-dan saudari kita, tetangga, teman-teman, sahabat dan kenalan kita, keluarga kita, singkatnya semua mereka yang kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari. Mereka itulah sesama kita. Dan untuk mereka inilah seharusnya kita menjadi malaikat. Menjadi malaikat bagi mereka, yang selalu siap menolong dan berkorban untuk mereka. Bukan itu saja, kita juga mesti membuka diri, bersedia ditolong oleh orang lain, memberikan kesempatan agar sesama menjadi malaikat bagi kita. Membuka diri menerima uluran tangan mereka. Hidup kita sebagai pengikut Kristus akan menjadi lebih indah, akan menjadi lebih bermakna dan bernilai, bila kita bukan saja dapat membawa diri masuk dalam kerajaan Allah, tetapi terlebih, bila kita mampu menarik semua orang untuk bersama-sama masuk dalam kerajaan surga. Itulah maksud cerita Yesus hari ini.
Sekali lagi, jika anda dalam posisi pastor itu, apa yang akan anda buat? Anda sudah tahu jawabannya. Amin.
Comments
Post a Comment