Renungan Minggu Paskah V
Kis 14,21b-27; Why 21,1-5a; Yoh 13,31-33a.34-35
Oleh: Rm. Victor Bani, SVD
Bacaan injil yang kita dengar hari ini menampilkan dua hal yang saling berlawanan, tetapi toh mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya. Kisah yang ditulis oleh penginjil Yohanes ini dimulai dengan ‘kepergian Yudas’. Meskipun acara makan malam perpisahan antara Yesus dan murid-murid-Nya belum selesai, Yudas telah pergi meninggalkan mereka. Suatu sikap yang tidak pantas dari seorang murid. Para murid yang lain tidak tahu alasan kepergian Yudas, namun Yesus dan kita tahu, mengapa dia pergi tanpa pamit. Untuk apa dia meninggalkan mereka? Untuk mengkhianati Yesus, Gurunya sendiri.
Itulah yang kita dengar pada awal perikop injil Yohanes hari ini. Lalu pada bagian akhir, diceriterakan bahwa Yesus memberikan suatu perintah baru kepada murid-murid-Nya: „Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi …“
Dari penjelasan singkat diatas, menjadi jelas dua hal yang saya maksudkan diatas. Dua hal yang saling berlawanan, tetapi toh mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya.
Cinta dan pengkhinatan. Yudas pergi untuk mengkhianati Yesus; Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk saling mengasihi, untuk saling mencintai satu sama lain.
Rasa-rasanya, dimana ada cinta di situ selalu ada pula pengkhianatan. Dan juga sebaliknya: dimana ada pengkhinatan, disana bisa bertumbuh cinta yang sejati. Hal ini bukan saja dialami oleh Yesus, tetapi kita alami juga dalam kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa tahun yang lalu, dalam perang kemerdekaan di Irlandia Utara, seorang pejuang Irlandia berhasil membunuh seorang tokoh yang berpengaruh di Inggris. Tetapi beberapa waktu kemudian, ia dikhianati oleh seorang kawan seperjuangannya, sehingga ia ditangkap, dimasukkan dalam penjara kemudian dijatuhi hukuman mati, dengan cara digantung. Menjelang hari hukuman matinya, berulang kali ia menolak bapak pengakuan penjara itu. Pertama: karena ia tidak bisa mengaku, dan terlebih lagi, karena dia tidak bisa dan tidak mau mengampuni pengkhianatnya itu.
Pada suatu hari, seorang biarawati, seorang suster Ursulin datang kepadanya. Suster itu bermaksud meminta pendapatnya berhubungan dengan keputusannnya untuk meninggal-kan biara. Si suster hendak keluar dari biaranya, karena dia juga merasa sangat sulit untuk memaafkan seseorang yang telah membunuh saudaranya. Suster itu tidak bisa memaafkan pembunuh saudaranya, karena dia mengalami dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana keluarganya hancur karena pembunuhan itu. Bapaknya terkena stroke, ibunya meninggal beberapa saat kemudian karena tidak bisa menanggung kesedihan yang luar biasa. Kehidupan ipar dan keponakan-keponakannya berantakan, karena mereka bukan saja kehilangan tulang punggung keluarga mereka, tetapi terlebih karena mereka kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Setelah melihat dan mengalami semua kepedihan itu, bagaimana mungkin dia dapat mengampuni pembunuh saudaranya?
Siapakah saudara suster itu? Ternyata saudaranya adalah tokoh berpengaruh di Inggris, yang telah dibunuh oleh pejuang Irlandia, yang sekarang berada dihadapannya. Setelah mendengar ceritera biarawati itu, pejuang itu terdia lama, lalu berkata: „Suster, saya mohon suster jangan meninggalkan biara. Pergilah, panggillah bapak pengakuan, karena sekarang saya mau memaafkan saudaraku seperjuangan yang telah mengkhianati saya itu. Kalau suster telah memaafkan saya, maka sebagai orang kristiani, saya harus bisa pula memaafkan dan mencintai orang yang telah mengkhianati saya itu“.
Bila kita mengalami sendiri seperti apa yang dialami oleh suster itu, jika kita dikhianati sama seperti yang dialami oleh pejuang irlandia itu, apa yang akan kita lakukan? Apa yang bisa kita buat? Memaafkan dan mengampuni begitu saja orang yang melakukannya terhadap kita? Itu bukan hal yang mudah. Membalas apa yang telah dilakukannya terhadap kita? Saya tidak tahu, apa kita punya keberanian untuk itu. Bersedih sepanjang waktu? Itu tidak akan merubah apa-apa. Kalau begitu, apa yang mesti kita buat?
Saya cuma punya satu usul: belajarlah dari Yesus, Guru kita. Dia telah menunjukkan kepada kita bahwa cinta itu harus lebih kuat dari pengkhianatan dan dosa. Dia bukan saja mengajarkan kita untuk saling mengasihi satu sama lain, tetapi Ia juga mempraktekkan apa yang dikatakan-Nya. Apa yang dibuat Yesus, sebelum Ia wafat di salib? Dia berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Itu juga yang harus kita lakukan dalam hidup kita sehari-hari. Amin.
Comments
Post a Comment