Injil Matius yang dibacakan pada hari
Minggu Biasa III ini terdiri atas 2 bagian yang berbeda, namun punya
hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya.
Bagian yang pertama dimulai dari bab 4,12-17.
Di sana disebutkan bagaimana Yesus, setelah tertangkapnya Yohanes
Pembaptis, menyingkir ke Galilea. Perjalanannya ke Kapernaum bukannya
tanpa sebab. Hal itu sesuai dengan apa yang telah difirmankan Nabi
Yesaya: “Tanah Zebulon dan Naftali… Bangsa yang diam dalam kegelapan,
telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang
dinaungi maut, telah terbit terang.” Keselamatan yang dibawa Yesus
bukan saja diperuntukkan bagi orang Israel, tapi juga bangsa-bangsa
lain. Kemudian dalam bab 4,18-22, penulis Injil Matius
memberitakan pemanggilan para murid yang pertama serta alasan mengapa
mereka dipanggil. Warta keselamatan yang dibawa Yesus akan dilanjutkan
oleh para murid-Nya. Karena itu mereka dipanggil untuk menjadi penjala
manusia.
Bangsa Israel adalah bangsa yang
terpilih. Kepada nenek moyang mereka, Yahwe berjanji akan menjadi Allah
mereka dan mereka akan menjadi umat-Nya. Mereka akan dijadikan bangsa
yang besar, asal mereka setia mengikuti dan menjalankan perintah Allah.
Namun kenyataan berbicara lain. Setelah zaman para nenek moyang dan
nabi-nabi lewat, mereka berbalik dari Yahwe, dan mengikuti ‚allah‘
bangsa-bangsa lain. Karena itu mereka ‚dihukum‘ oleh Yahwe. Mereka bukan
saja dijadikan rebutan bangsa-bangsa lain, mereka bahkan ditawan dan
dibuang ke Babel. Selama ratusan tahun mereka hidup di dalam pembuangan.
Untunglah Yahwe berbaik hati dan menyelamatkan mereka. Akan tetapi,
bukannya belajar dari sejarah masa lalu, bangsa Israel malah melakukan
kesalahan yang sama. Dan kali inipun Yahwe ‚menghukum‘ mereka, dengan
menyerahkan mereka kepada para penguasa Romawi. Dalam situasi seperti
ini, mereka kehilangan pegangan dan arah hidup. Karena itulah Mesias
diutus, untuk maksud itu pula para Rasul dipilih.
Penugasan Mesias untuk menyelamatkan
bangsa Israel bukan saja diberikan kepada para Rasul, tetapi juga
diserahkan kepada kita. Sama seperti orang-orang Israel pada zaman Yesus
dulu, yang hidup seperti domba tanpa gembala, demikian juga orang-orang
yang hidup di zaman modern ini. Tidak sedikit dari mereka yang
kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Seperti para murid
pertama, kita dipanggil agar menjadi penjala-penjala bagi jiwa mereka
yang kehilangan arah hidup. Siapkah kita menerima panggilan itu?
P. Victor Bani, SVD