Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Cerpen

KATA CINTA PADA KERTAS BERGAMBAR BUNGA ROS

Namanya Solomon. Dia seorang yang lugu dan pendiam. Entah kenapa ibunya menamai dia Solomon. Tapi menurut cerita, ketika ibunya muda dulu pernah berkenalan dengan seorang pemuda Philipina bernama Solomon. Sampai pada waktunya dia jatuh cinta, tapi sayang Solomom telah berlalu meninggalkan dirinya, pulang ke negeri asalnya sebelum cintanya itu terungkapkan. Orienta nama ibunya. Solomon dilahirkan dari rahim Orienta dua puluh tahun lalu. Solomon adalah hasil perkawinan dengan Wisnu, seorang pemuda kampung yang tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Orienta. Begitulah perkawinan mereka berjalan tiada hambatan meskipun bayangan Solomon tak bisa lepas dari ingatan Orienta. Pemuda ganteng, kekar, berkulit mulus dengan titik-titik jerawat di pipinya, duhai, lelaki itu bagai langit malam yang berbintang gemintang. Sampai pada saat kelahiran anaknya, subuh itu ketika azan berkumandang terdengar suara tangisan kecil di sebuah klinik bersalin. Tak begitu sadar ketika Orienta berteriak penuh su

ISTRIKU MENGHITUNG BINTANG

LOPO CENDANA   - Beban perasaan paling berat bagi kami saat itu, terutama bagi Arum, istriku, adalah sudah tiga tahun menikah belum juga dikaruniai anak. Karena itulah lebaran kemarin  aku tidak mengajak Arum pulang ke desa. Hal ini kulakukan demi untuk menjaga perasaan istriku. Kasihan Arum, setiap pulang ke desa, kakak-kakakku selalu bertanya kapan kami punya anak. Kata mereka, sebuah rumah tangga tanpa anak, menjadikan hidup ini hampa. Dan tidak segan-segan saudaraku, terutama Yu Mi, kakakku tertua, dengan terang-terangan menuduh Arum gabug, sebutan untuk perempuan mandul di desaku. Berkali-kali aku menjelaskan kepada mereka  bahwa kami tidak mandul. Setiap dokter yang memeriksa kami menyatakan bahwa kami bisa punya anak. Kami subur. Tapi mana mungkin mereka, terutama Yu Mi, percaya. “Buktinya kalian sudah tiga tahun menikah belum punya anak juga. Istrimu  itu pasti mandul. Aku percaya bukan kamu yang mandul tapi Arum,” kata Yu Mi. Wajar kalau setiap pulang dari desaku, Arum mena

Laki-Laki Sejati

Cerpen Putu Wijaya Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya. Ibu, lelaki sejati itu seperti apa? Ibunya terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi perempuan yang punya banyak pertanyaan. Sepasang matanya yang dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena harus ditempuh sendiri. Kenapa kamu menanyakan itu, anakku? Sebab aku ingin tahu. Dan sesudah tahu? Aku tak tahu. Wajah gadis itu menjadi merah. Ibunya paham,

Kupu-Kupu Tidur

Cerpen Wawan Setiawan Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya. Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda

Sebuah Jalan

Cerita Aris Kurniawan Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini. Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan k

Sang Primadona

Cerpen A. Mustofa Bisri Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil. Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku. Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara. Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu

Malam-Malam Nina

Cerpen Lan Fang Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung. Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya. Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah. Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan. Kam

Tak Seperti Janji Matahari

“Aku Arman, tunangan Sita. Bulan depan kami akan menikah, seusai wisudanya....” Empat tahun telah berlalu. Aku harus kembali ke kota kelahiranku. Janjiku pada Ayah dan Ibu sudah kutepati, bahwa aku akan menyelesaikan SMU-ku di Yogya dengan hasil gemilang, bukan seperti saat SLTP dulu. Berbagai macam pelanggaran kulakukan, saat itu, membuatku terpaksa diungsikan ke kota Mbakyu Nina, demi masa depanku, demikian kata mereka. Sebenarnya, itu tak perlu, sebab aku sudah menyadari segala kesalahanku, tapi bersiap untuk memperbaikinya, namun semua sudah terlambat. Mereka sudah memesan tiket pesawat untukku. Membuatku harus meninggalkan semua teman sejak masa kecilku, dan juga Sita, yang bisa dibilang my soul saver. Sita yang nggak pernah bosan- bosannya ngingetin aku bahwa ngerokok itu nggak baik, yang nggak pernah bosan nemenin aku meski aku lagi teler berat akibat terlalu banyak nenggak minuman beralkohol. Sita yang selalu ngomong bahwa aku masih SLTP. Sita yang kakak kelasku, jauh di atasku