Pengertian subsidi BBM versi kwik
Hitungan Subsidi BBM Ala Kwik Kian Gie Dan Kritiknya
Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana?
Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?
Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata "subsidi BBM" itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?
Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.
Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.
Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah
per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil
US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.
Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel.
Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.
Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.
Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.
Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?
Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.
PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 dollar AS)
DATA DAN ASUMSI
Produksi : 1 juta barrel per hari
70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel
1 US $ = Rp. 10.000
Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel
1 barrel = 159 liter
Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter
PERHITUNGAN
Produksi dalam liter per tahun :
70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini :
(19,375,500, 000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000,000,000
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri :
40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815,000,000
Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar 35,316,815,000, 000
Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual, harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan)
Kelebihan uang per liter 3,870
Oleh Kwik Kian Gie
KRITIK :
Asumsi dasar pak kwik ini salah besar. Kesalahan asumsi mendasar adalah, yang dibicarakan adalah harga minyak mentah, dan asumsi diambil pak kwik adalah terjadi efisiensi 100%, dalam artian, seluruh minyak mentah dapat diconvert menjadi BBM (bensin, solar, MFO, etc).
Satu lagi yang saya perhatikan, asumsi konsumsi BBM indonesia disebutkan 60.000.000.000 liter (60 juta kiloliter) / tahun. Nah, mari kita hitung...
60.000.000.000 liter / 159 (liter/bbl) / 365 (hari/ tahun) = 1.033.858 bbl/ hari.
Konsumsi indonesia saat ini sudah pasti diatas 1 juta bbl/ day. So, kalau ada peningkatan sampai 400.000 bbl/hari (x 159 x 365 = 23 milyar liter / tahun), hitung2an pak Kwik ini "hancur lebur".
Perhitungan Pak Kwik tersebut benar secara logika namun tidak "wajar" karena dalam hal ini Pertamina diperlakukan sebagai "Tukang Ambil & Masak Minyak" tanpa ada "fee" untuk Pertamina. Sementara sebelum menjadi PT -pun, sistem yang berlaku antara Pemerintah dan Pertamina adalah "Cost & Fee" yang selanjutnya setelah dievaluasi faktor "Cost" tersebut membebani Pemerintah dimana seluruh cost memproses minyak jadi BBM diganti Pemerintah.
Lalu setelah Pertamina menjadi PT, sistem yang berlaku antara Pemerintah dan Pertamina adalah "Seller&Buyer" (namun hanya dalam kalkulasi di atas Kertas). Dalam sistem ini Pertamina "membeli" minyak entitle Pemerintah dengan harga ICP dan memproses menjadi BBM, lalu BBM (Premium 88, Solar dan Kerosene) tersebut "dijual" ke Pemerintah dengan harga tertentu + margin.
Jadi secara kalkulasi, "hasil penjualan crude ke Pertamina" dihitung sebagai Penerimaan sektor Migas, dan jika pemerintah menjual BBM dibawah harga internasional maka harus ada subsidi.
Pertamina sebagai perusahaan harus mendapat margin, agar menjadi sehat, profit dan berkembang, apalagi Pertamina dituntut menyetor deviden ke APBN.
Sebagai informasi, selain mengolah minyak entitle Pemerintah, Pertamina harus mengolah minyak dari Arab (ALC) di UP IV Cilacap yang dibeli dengan harga Internasional.
Di satu sisi Pemerintah dapet income dari penjualan minyak entitlement-nya (bagi hasil) atas PSC ke Pertamina dan di sisi lain harus mengeluarkan dana untuk nomboki selisih harga produk internasional dengan harga dalam negeri, tinggal ditanyain aja windfall-nya ke Pemerintah.
Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
produksi ini adalah crude oil, dimana tidak semua crude oil itu bisa dikonversi sebagai BBM (bensin, solar, minyak tanah. Fraksi ringan, jadilah dia LPG, sedangkan fraksi berat jadilah dia aspal, wax dsb. Sementara bensin dan sebangsanya itu fraksi yang agak berat, masih bagus kalo crude yang diproduksi bisa jadi BBM separuhnya, katakanlah rata-rata 50 % artinya yang jadi BBM itu cuma *20,312,250,000* liter.
Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000, ini adalah konsumsi BBM, bukan crude. Jadi sesungguhnya impor yang dibutuhkan bukanlah sebanyak 19,375,500,000 liter tapi *39,687,750,000 liter* BBM which is lebih dari 2 kali lipat itungannya KKG. Kalau kita impornya dalam BBM siap pakai maka harganya bukan lagi $100/barrel tapi $100/barrel + biaya pengolahan + biaya transport. Let say harga belinya jadi $110/barrel
Maka hitungannya pak Kwik menjadi Rupiah yang keluar untuk impor:
(*39,687,750,000* : 159) x $ 110 x Rp 9500 = Rp *260,840,872,641,509.*
Kelebihan uang dari harga jual didalam negeri (hanya yang bisa dijual sebagai BBM, dalam hal ini premium)
20,312,250,000 x Rp 3,870 (asumsinya KKG) = Rp 78,608,407,500,000
Maka negara mesti nombokin buat impor BBM = Rp *182,232,465,141,509*
Faktor 70% dalam hitungan Pak KKG adalah faktor utk konversi crude ke produk BBM. Jadi angka 40.6 juta KL adalah produksi BBM. Asumsi Pak Kwik, 70% itu adalah bagian crude pemerintah, 30% dianggap bagian perusahaan asing. Pak Kwik tidak membahas konversi crude ke kilang jadi BBM sekian persen.
Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?
Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata "subsidi BBM" itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?
Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.
Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.
Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah
per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. Kalau kita ambil
US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930. Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.
Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel.
Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.
Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.
Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.
Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?
Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.
PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM (Harga minyak mentah 100 dollar AS)
DATA DAN ASUMSI
Produksi : 1 juta barrel per hari
70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel
1 US $ = Rp. 10.000
Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel
1 barrel = 159 liter
Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter
PERHITUNGAN
Produksi dalam liter per tahun :
70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun 19,375,500,000
Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini :
(19,375,500, 000 : 159) x 100 x 10.000 = 121,900,000,000,000
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri :
40,624,500,000 x Rp. 3.870 = 157,216,815,000,000
Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar 35,316,815,000, 000
Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual, harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah) 4,500. Biaya lifting, pengilangan dan transportasi US $ 10 per barrel atau per liter : (10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan)
Kelebihan uang per liter 3,870
Oleh Kwik Kian Gie
KRITIK :
Asumsi dasar pak kwik ini salah besar. Kesalahan asumsi mendasar adalah, yang dibicarakan adalah harga minyak mentah, dan asumsi diambil pak kwik adalah terjadi efisiensi 100%, dalam artian, seluruh minyak mentah dapat diconvert menjadi BBM (bensin, solar, MFO, etc).
Satu lagi yang saya perhatikan, asumsi konsumsi BBM indonesia disebutkan 60.000.000.000 liter (60 juta kiloliter) / tahun. Nah, mari kita hitung...
60.000.000.000 liter / 159 (liter/bbl) / 365 (hari/ tahun) = 1.033.858 bbl/ hari.
Konsumsi indonesia saat ini sudah pasti diatas 1 juta bbl/ day. So, kalau ada peningkatan sampai 400.000 bbl/hari (x 159 x 365 = 23 milyar liter / tahun), hitung2an pak Kwik ini "hancur lebur".
Perhitungan Pak Kwik tersebut benar secara logika namun tidak "wajar" karena dalam hal ini Pertamina diperlakukan sebagai "Tukang Ambil & Masak Minyak" tanpa ada "fee" untuk Pertamina. Sementara sebelum menjadi PT -pun, sistem yang berlaku antara Pemerintah dan Pertamina adalah "Cost & Fee" yang selanjutnya setelah dievaluasi faktor "Cost" tersebut membebani Pemerintah dimana seluruh cost memproses minyak jadi BBM diganti Pemerintah.
Lalu setelah Pertamina menjadi PT, sistem yang berlaku antara Pemerintah dan Pertamina adalah "Seller&Buyer" (namun hanya dalam kalkulasi di atas Kertas). Dalam sistem ini Pertamina "membeli" minyak entitle Pemerintah dengan harga ICP dan memproses menjadi BBM, lalu BBM (Premium 88, Solar dan Kerosene) tersebut "dijual" ke Pemerintah dengan harga tertentu + margin.
Jadi secara kalkulasi, "hasil penjualan crude ke Pertamina" dihitung sebagai Penerimaan sektor Migas, dan jika pemerintah menjual BBM dibawah harga internasional maka harus ada subsidi.
Pertamina sebagai perusahaan harus mendapat margin, agar menjadi sehat, profit dan berkembang, apalagi Pertamina dituntut menyetor deviden ke APBN.
Sebagai informasi, selain mengolah minyak entitle Pemerintah, Pertamina harus mengolah minyak dari Arab (ALC) di UP IV Cilacap yang dibeli dengan harga Internasional.
Di satu sisi Pemerintah dapet income dari penjualan minyak entitlement-nya (bagi hasil) atas PSC ke Pertamina dan di sisi lain harus mengeluarkan dana untuk nomboki selisih harga produk internasional dengan harga dalam negeri, tinggal ditanyain aja windfall-nya ke Pemerintah.
Produksi dalam liter per tahun : 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40,624,500,000
produksi ini adalah crude oil, dimana tidak semua crude oil itu bisa dikonversi sebagai BBM (bensin, solar, minyak tanah. Fraksi ringan, jadilah dia LPG, sedangkan fraksi berat jadilah dia aspal, wax dsb. Sementara bensin dan sebangsanya itu fraksi yang agak berat, masih bagus kalo crude yang diproduksi bisa jadi BBM separuhnya, katakanlah rata-rata 50 % artinya yang jadi BBM itu cuma *20,312,250,000* liter.
Konsumsi dalam liter per tahun 60,000,000,000, ini adalah konsumsi BBM, bukan crude. Jadi sesungguhnya impor yang dibutuhkan bukanlah sebanyak 19,375,500,000 liter tapi *39,687,750,000 liter* BBM which is lebih dari 2 kali lipat itungannya KKG. Kalau kita impornya dalam BBM siap pakai maka harganya bukan lagi $100/barrel tapi $100/barrel + biaya pengolahan + biaya transport. Let say harga belinya jadi $110/barrel
Maka hitungannya pak Kwik menjadi Rupiah yang keluar untuk impor:
(*39,687,750,000* : 159) x $ 110 x Rp 9500 = Rp *260,840,872,641,509.*
Kelebihan uang dari harga jual didalam negeri (hanya yang bisa dijual sebagai BBM, dalam hal ini premium)
20,312,250,000 x Rp 3,870 (asumsinya KKG) = Rp 78,608,407,500,000
Maka negara mesti nombokin buat impor BBM = Rp *182,232,465,141,509*
Faktor 70% dalam hitungan Pak KKG adalah faktor utk konversi crude ke produk BBM. Jadi angka 40.6 juta KL adalah produksi BBM. Asumsi Pak Kwik, 70% itu adalah bagian crude pemerintah, 30% dianggap bagian perusahaan asing. Pak Kwik tidak membahas konversi crude ke kilang jadi BBM sekian persen.